September 04, 2022

Trekking Tektok ke Gunung Papandayan

View Papandayan dari Taman Edelweiss
Kesan beberapa orang setelah tahu kalo gue balik solo trekking ke Papandayan langsung nanya begini,"kok berani sih ke hutan sendirian?". "itu kan gunung bro, ya kalau rame-rame sih oke." "ke gunung sendirian? emang gak takut?".

Gue cuma jawab, "lah emang kenapa? lagi gue juga tektok, gak camping di atas. Lagi juga Papandayan juga trek pendek, rame yang kesana. Kecuali gue camping ke puncak ya, itu mah emang baiknya ramean ya."

Petualangan Dimulai

Agenda trekking ke Papandayan ini udah lama banget masuk ke wishlist destinasi #DiIndonesiaAja. Selain pengen nyobain KA Cikuray yang baru diresmikan jalur keretanya di Maret tahun ini. Buat kalian warga Jabodetabek, mau ke Garut bisa banget naik kereta ini. Sayangnya jadwal perjalanan kereta ini masih satu kali perjalanan dan jadwalnya kurang fleksibel. Berangkat dari Pasar Senen 17.55 pas maghrib sampai di Garut itu pukul 00.53 dini hari. Sedangkan jadwal keberangkatan dari Garut pagi banget pukul 07.05 dan sampai di Pasar Senen 13.32 siang. Jadi kalau kalian mau kesana, minimal meluangkan waktu 3 hari atau bisa saja dua hari namun pulangnya naik dari Stasiun Leles dengan kereta Serayu.

Di Garut gue nginep di Pondok Kost Aulia, booking online di Traveloka. Ini rumah kost-an. Untungnya gue udah konfirmasi ke pemilik kost bakalan sampe tengah malam. Dan bener gue baru sampe sana jam 1 malam. Rumahnya udah ditutup pagernya. Akhirnya gue nunggu di sofa depan rumahnya dan gak lama bapaknya kebangun soalnya gue telepon berkali-kali, sorry banget ya pak.

Niatnya mau jalan sehabis subuh, eh baru keluar penginapan jam 9. Ngegojek ke tempat penyewaan motor lalu cus ke arah Papandayan. Dari pusat kota sekitar satu jam untuk sampai kesana. Aspal jalanan kota ini terbilang kurang baik sebab banyak jalan-jalan yang ditambal dan tidak sedikit yang berlubang. Terlebih ketika memasuki jalan pertigaan ke kanan, desa tepat di bawah kaki Papandayan, jalannya banyak yang kurang alus atau layak. Hanya beberapa ratus meter memasuki kawasan wisata saja yang jalannya mulus.

Wisata Gunung Papandayan terbilang ramai siang itu. Banyak rombongan ibu-ibu naik bis. Dan melasnya, bisnya gak nanjak sampai ke area parkiran. Jadi lah mereka jalan sampai ke area parkiran. Dan gue sampai sekitar pukul setengah sebelas siang. Setelah membayar retribusi seharga Rp30.000 untuk pengunjung nusantara, ditambah biaya masuk roda dua Rp14.500. Jadi total biaya masuk ke gunung ini sebesar Rp44.500. 

View Papandayan dari Menara Pandang
Area parkirannya cukup lapang. Banyak warung berjejeran menjajakan makanan. Saya pun menuju ke menara pandang untuk melihat-lihat sekitaran. Mengarah ke arah kawah bekas letusan tahun 2002. Gunung Papandayan mengeluarkan asap belerang yang putih mengudara. Beberapa lubang kawah yang terpencar mengeluarkan asapnya masing-masing. Waaahh, punggungan bukit menjulang di sisi kirinya. Sedangkan punggungan kaki gunung berwarna seperti tanah liat dan belerang, nampak merah kecoklatan. Saya pun tidak sabar untuk segera mendaki ke atas sana.

Jalur pendakian menuju Kawah - sebelah kanan ada Tebing Sunrise
Siang sebentar lagi sudah waktu dzuhur, saya makan sebentar di salah satu warung yang penjualnya seorang ibu paruh baya. Disana saya makan ayam goreng dan lalapan. Bincang sekenanya dengan ibu yang menjelaskan apa saja yang harus saya datangi. Ia menyarankan untuk ke taman bunga dan kolam air hangat lebih dulu. Sebab kalau menanti turun, biasanya pengunjung sudah lelah.

Lepas setelah makan, saya ibadah sebentar dan setelahnya menuju ke taman edelweiss yang dibudidayakan dengan beberapa bunga-bunga dan pohon cantigi. Tamannya berada dekat dengan cottages/penginapan. Terdapat pula masjid, toilet dan gazebo untuk bersantai. 

Udara disana segar sekali tentunya dengan kualitas air yang bersih pula. Saya merasa betah sekali, meskipun masih berada di bawah, pemandangan di sekitaran yang juga sangat indah memanjakan mata.

Tepat jam 12 lebih sekian menit, saya mulai berjalan santai menuju ke atas. Jalanan aspal menanjak sedikit berakhir ke jalanan tanah pegunungan. Matahari cukup terik kala itu, namun awan sedikit menutupi setengah bagian atas area disana. Saya merasa hangat dan angin yang berhembus memberi suasana kesejukan. Di sisi bawahnya, langit biru sedikit memberikan warna langit menjadi kontras. Saya trekking sendiri dan bersama pendaki lain yang hendak berkemah. Pengunjung lain tak sedikit juga yang tektok untuk sekadar melihat-lihat kawah. 

Tebing batuan yang di peta disebut dengan Tebing Sunrise ada di sebelah kanan. Bekas kontur gunung yang sudah runtuh menyisakan sedikit bagian menjulang ke atas. Aliran air gemericik di sela-sela antara celah gunungan yang berasal dari kawah atau hulu gunung. Bekas belerang tampak ada dimana-mana. Bekas lubang kawah kecil pun masih tampak terlihat menganga. Ada banyak sekali. Sementara cerukan gunung di ujung kiri tampak lebih panjang mungkin di sisi itulah puncak gunung ini berada. Warna coklat kehijauan, kokoh dan membentengi kawah.

Trek pendakian menuju ke Kawah & Bunderan
Sesekali menghela nafas dan mengatur jejak langkah. Saya masih bersemangat untuk menuju ke hutan mati. Saya beristirahat sebentar setelah menaiki jalur agak menanjak. Tepat setelah posko ojek masyarakat lokal, terdapat gazebo kecil di atasnya. Disana saya beristirahat sebentar. Salam sapa sebentar dengan pengunjung lainnya yang juga beristirahat. 10 menit berlalu, saya melanjutkan perjalanan. Jalur menurun sedikit saja, lalu menanjak lagi. Sampailah saya di bunderan alias pertigaan. Saya mengambil jalan ke kiri mengarah ke hutan mati. Kalau mengambil arah ke kanan akan lebih jauh lagi jaraknya menuju ke Ghober Hoet. Bisa selisih sejam sendiri jika memilih jalur ke kanan.Jalanan setapak mulai terus menanjak. Sebelah kiri areal kawah masih mengepul asapnya. Sebenernya saya mencari-cari keberadaan Danau Kawah Biru namun tidak menemukan jalur mengarah kesana. Kalau diperhatikan, di seberang sana ada semacam cerukan di sebelah kawah. Bisa jadi itu tempatnya meski kurang yakin juga. Saya memperhatikan jalur setapaknya memang terlihat seperti garis tapak yang bekas dilewati, namun entah bercabang dimana untuk menuju kesana. 
Trek menuju ke Hutan Mati


Saya terus melanjutkan perjalanan ke atas. Melewati varietas pohon cantigi di kanan kirinya. Pohon ini tumbuh meninggi sekitar dua hingga tiga meter. Sepi, hanya satu-dua orang yang lewat. Makin naik ke atas. Terasa juga ngos-ngosan melewati anak tangganya. Akhirnya saya mencapai atasnya. Dan memasuki areal hutan mati yang menyajikan warna putih dan bekas pohon cantigi yang terbakar. Menyisakan batang pohon yang masih menancap di dalam tanah. Ini alami sekali kawan. Arealnya pun cukup luas. Kalau tidak salah, ini lukisan alam bekas letusan 2002. Kepulan asap atau kabut terbang di atas pepohonan gunung.

Hutan Mati

Disini saya bertemu beberapa pengunjung yang hendak kemah ke Pondok Saladah. Kalau di peta, Pondok Salah bersebelahan dengan hutan mati letaknya. Tidak terlalu jauh jaraknya. Saya mengabadikan foto dan momen sebentar di hutan mati. Sembari berjalan, terus mengarahkan kaki menuju Pondok Saladah. Lurus terus ke depan lalu berbelok ke arah kanan. Disini, tumbuhan pakis dan pohon-pohonnya lebih rapat. Suasana gelap nan sepi pun terasa sekali. Setelah berjalan, terus mengikuti jalurnya, akan menemukan arah ke Pondok Saladah. Akan mulai banyak tumbuhan edelweiss dan tumbuhan khas ketinggian lainnnya. Betul saja tak jauh, sampai juga saya di Pondok Saladah. Sebuah area tanah lapang yang luas. Tempat para pendaki mendirikan tenda untuk bermalam sebelum melihat sunrise di Tegal Alun, ladang edelweiss terbesar di Asia Tenggara.

Pondok Saladah
Di Pondok Saladah, ada banyak warung berjejeran. Jadi cukup tenang sekali kalau mau istirahat dan ngemil makan disana. Ada sumber air yang memadai, toilet dan musholla. Banyak tenda sudah berdiri disana. Pengunjung bercengkerama dengan teman-kawan pendakiannya. Kita bisa pula menyewa tenda disana atau memakai jasa porter yang ditawarkan warga lokal. Saya makan bubur kacang ijo dan gorengan sebentar. Lalu berkeliling di sekitaran area itu. Mengambil foto dan momen. Menghirup udara segar dan sharing dengan penjual warung. Ia banyak melihatkan foto galaksi bimasakti yang cukup keren dipotret dari lokasi itu. Menceritakan banyak hal tentang area disana, seperti padang savana yang kala musim kemarau menjadi lokasi kawin macan-kumbang atau hewan penghuni hutan Papandayan. Ia pun menceritakan kalau sekarang jarang pendaki yang ke puncak sebab jalurnya sudah sulit dilalui. Paling kebanyakan pendaki menuju ke Tegal Alun atau melihat sunrise di Ghober Hoet.

Trek dari Hutan Mati menuju Pondok Saladah
Vibes Papandayan memang asyik sekali. Suatu saat saya akan kembali dan camping di gunung ini. Tak lama, saya pun bergegas untuk pulang jam tiga kurang. Kabut mulai turun di antara semak-pohon di punggungan gunung yang masih rapat dengan tumbuh-tumbuhan. Sampainya di hutan mati, pengunjung masih ramai berpencar berfoto-foto disana. Saya singgah sebentar lalu melanjutkan turun ke bawah. Selama di perjalanan turun, saya banyak bertemu pengunjung yang baru akan naik ke atas. Saya pun menyemangati mereka yang terlihat sudah kelelahan ketika melewati anak tangga dan jalur pendakian. Satu jam lebih, saya pun tiba di pos pendakian awal. Wahhhh seru sekali mendaki tektok di gunung ini. Mata yang selalu dimanjakan dengan pemadangan yang sangat indah dan alami. Semoga saja saya bisa balik lagi ke Taman Wisata Alam Gunung Papandayan!
Kawah Papandayan yang memencar dimana-mana

Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Instagram