Edisi petualang waktu itu (28/02/2015), saya
mengajak kakak saya dari Jekardah yang kebetulan lagi cuti kerja untuk ikut
jalan-jalan bersama teman-teman kampus saya (baca:keluarga sosial). Keluarga sosial
adalah akibat hubungan satu organisasi yang sama di kampus dan berujung kepada
hubungan kekeluargaan. Sosial disini adalah job desk dalam organisasinya yang
sudah masuk ke dalam 3 generasi. Mereka adalah Rizki, Dimas, Yana, Raka, Anggi,
Wiwid, Kiye, Niswil, Yusma, Ambar, dan Nindy. Kami mulai kumpul pukul 8.00 WIB di
Kampus Ekonomi tercinta dan mulai berangkat satu jam kemudian.
Melepas penat saat weekend
adalah melupakan beban hidup yang harus diperjuangkan. Sedangkan menciptakan
momen bersama orang-orang terkasih adalah sebuah kebahagiaan yang tidak
terlupakan ketika kita memulai dan beranjak menuju dan bersama masa depan.
Destinasi kami saat itu adalah
sebuah curug di Desa Karangsalam, Baturraden. Sampailah kami di parkiran yang
sudah dikelola warga sekitar. Ada pula warung kecil di gubug menuju ke arah
Curug Telu. Tetapi kami bukan menuju ke Curug itu, melainkan Curug Lawang yang
berada di dalam gua. Kami berjalan mengikuti jalan setapak. Sampai mengarah ke
arah Curug Telu, kami berbelok ka arah atas. Lalu seorang bapak-bapak,
mengatakan kalau arahnya ke kanan (Curug Telu). Padahal kami bukan mau kesana.
Lalu bapak tersebut mengatakan kalau ke Curug Lawang bukan melewati jalan
tersebut. Kenapa kami ke arah itu, karena beberapa hari sebelumnya, ketika saya
ke Curug Telu, saya ditunjukkan arah tersebut oleh seorang bapak-bapak yang
sedang mengarit rumput di tangga yang menuju Curug Telu.
Saya melanjutkan perjalanan tanpa
hirau dengan perkataan bapak yang kami temui. Kemudian jalannya mulai menaiki
bukit, para cewek-cewek mulai risau mendengar ocehan si bapak tadi karena takut
kesasar. Mereka ngoceh ini, itu, apalah, entahlah. Lalu saya dan Wiwid naik
duluan ke atas buat meyakinkan jalan. Menanyakan kepada orang yang ada di
gubug. Ternyata eh jalan itu bukan menuju Curug Lawang, tetapi ke Curug Moprok
yang katanya ibunya sih cukup jauh sekitar 15 menit. Akhirnya saya dan Wiwid
memutuskan untuk menuju curug tersebut yang memang sudah kami incar sebelumnya.
Jadi begini informasinya. Desa Karangsalam itu salah satu desa
di Kecamatan Baturraden yang memiliki potensi alam yang cukup melimpah.
Terletak di bawah Gunung Slamet. Yang jelas di ketinggian beberapa ratus mdpl.
Disana kita bisa melihat sky line Purwokerto. Ada pendopo yang dibangun untuk
melihat pemandangan alam di bawahnya. Katanya juga, tahun lalu salah satu desa
yang dapat PNPM untuk pengembangan dan kemajuan desa. Tentunya areal persawahan
banyak ditemukan disana. Ada pula kandang sapi dan ayam. Sungai yang megalir dari
hulu Gunung Slamet sehingga banyak ditemukan air terjun (baca:curug).
Diantaranya Curug di dekat hotel (gatau namanya), Curug Putri, Curug Telu,
Curug Lawang, Curug Moprok, dan curug lainnya yang belum saya dengar informasi
keberadaannya. Saya memang melihat potensi wisata alam dan agrowisata di desa
ini. Perlunya pengembangan pihak desa, masyarakat dan pemerintah untuk bisa
mewujudkan desa ini seperti desa wisata yang sudah berkembang dengan tetap
menjaga kelestraian alam dan ekosistemnya meski kehidupan modern mendegradasi,
seperti Kampung Naga (Garut).
- Kembali ke cerita -
|
Curug Moprok |
Kami melewati jalanan yang
menurun. Harus hati-hati dan waspada melewatinya sebab jalan tersebut masih jalan
tikus. Tepat di pinggir daratan (bukit) yang sebelah kanannya jurang. Banyak
pohon bambu dan jenis tumbuhan hutan tropis. Terdengar suara aliran sungai di
bawah jurang. Sampai terus mengikuti jalan setapak sampai ketemu di ujung
sungai. Dilanjutkan menyusuri sungai sekitar 150 meter lagi. Sungainya tersusun
dari batu-batuan di sepanjang alirannya sehingga kita bisa memilih untuk
berjalan melewatinya. Hati-hati menapaki batuannya, karena banyak yang
ditumbuhi lumut sehingga licin untuk diinjak. Akhirnya 15 menit dengan lebih 20
menit kami sampai di Curug Moprok dengan perjuangan yang luar biasa. Sebenarnya
tidak terlalu jauh untuk menyusuri jalan setapak dan sungainya. Hanya saja,
kami saat itu lebih banyak ceweknya jadi harus jalan pelan-pelan dan banyak
istirahat. Selain itu, kami lebih banyak bercanda karena kejadian dan momen
yang terjadi. Ada yang kepleset, ada yang digigit lintah, ada yang kecebur, ada
yang dicengin dan pastinya ada juga yang diketawain.
|
Di atas batu yang paling gede |
Tampak dua bagian air jatuh
dari ketinggiannya yang lumayan. Air terjun di antara tebing yang ditumbuhi sejenis tumbuhan
lumut dan paku. Dari kejauhan, air terjunnya terlihat lurus dan ramping. Kami semakin
berjalan mendekati curug itu. Pada bagian kanan, ada batu besar menjulang
tersusun. Di tempat kami berdiri batu-batu yang ukurannya kecil dan sedang
seolah menyumbat aliran air sehingga mencembung seperti kolam yang lumayan
besar ukurannya. Air terjunnya jatuh ke bawah menimpa batu-batu yang tersusun
di bawahnya pula. Terlihat juga air muncul dari belakang tumbuhan lumut di
bagian kiri bawah. Dari tempat kami berdiri, debit airnya tidak begitu deras. Tak
lama, Saya dan Dimas berenang-renang
disitu. Wooow...airnya sungguh dingin. Tenang dan dalam. Entah kedalaman berapa
meter. Yang jelas rasanya seperti kolam alami. Saya pun hanya membasahkan badan
sebentar sebab tidak kuat berenang berlama-lama. Mengapungkan badan ke atas,
melihat-lihat #PesonaIndonesia , melupakan keseharian yang memuakkan dan
merasakan ketenangan.
|
Di bawah curug |
Lalu saya mencoba mencapai ke
bagian tepat di bawah air terjun itu. Batuan disini lebih licin dibanding batu
yang kami lewati sebelumnya. Mungkin akibat endapan mikro organisme yang
menempel pada sisi batuan sejak dahulu kala. Dari bawahnya baru terlihat deras
air yang jatuh dan berterbangan ke penjuru sekitarnya. Ada efek pelangi kecil
yang muncul. Saya merasa menggigil karena kedinginan. Sepertinya lemak jenuh di
tubuh saya belum banyak tertimbun.
|
Keluarga Sosial :* |
Langit terlihat mulai mendung.
Kami pun beranjak meninggalkan curug yang cantik itu. Sungguh puas dan ingin
berlama-lama berada disana. Banyak pelajaran yang saya temukan di perjalanan
kali ini :
- Kita akan melihat mana orang yang peduli terhadap
orang lain dan alam semesta.
- Kaum adam akan ternilai seberapa besar tanggung
jawab mereka ketika dihadapkan dengan keberadaan kaum hawa ketika di luar zona nyaman
yang tidak bisa diduga sebelumnya apapun bakal terjadi.
- Perjalanan akan menentukan sikap
yang harus diambil seperti harus menyabarkan diri sendiri maupun orang lain, terlebih
dengan keluhan dan ocehan orang-orang yang tidak dapat (baca: kurang mampu) bertahan di luar zona
nyaman mereka.
- Kesadaran dan mawas diri dalam setiap perjalanan harus
dipersiapkan dengan matang, seperti kesahatan, P3K, dan pakaian yang membuat
nyaman ketika akan mengunjungi tempat yang akan kita tuju.
- Kita bisa menilai mana orang yang memiliki karakter dan passion yang sama dengan kita, contohnya apakah mereka tipe petualang beneran atau bukan.
- Banyak lintah disana. Jangan lupa bawa garam/tembakau. Saat itu kami tidak bawa apa-apa, pulang-pulang banyak lintah yang nempel di kaki. Itung-itung donor darah hehehe.