Tidak jauh dari Gunung Parang, Purwakarta memiliki wisata ketinggian lain, seperti Gunung Bongkok dan Gunung Lembu. Sesudahnya menikmati sunrise yang epic dari homestay di Badega, kami menuju ke arah pos pendakian Gunung Lembu yang berjarak sekitar 15 menit dari sana.
Desember 25, 2016
Desember 05, 2016
i am Morrissey - Workshop Short Travel Videography & Tour Hotel
Pengalaman adalah guru terbaik setiap manusia, katanya.
Dan inilah tentang pengalaman saya.
Sabtu kemaren 3 Desember 2016, saya mengikuti acara Workshop tentang Short Travel Videography with Smartphone di Morrissey Hotel Residences, Menteng. Diisi oleh pembicara kondang, Mas Teguh Sudarisman (penulis Travel Writer Diaries) dan diikuti sejumlah blogger yang kece-kece tentunya.
Dimulai dengan safety briefing oleh pihak Morrissey. Kami dijelaskan tentang standar keamanan yang dijadikan poin paling utama untuk diketahui oleh pengunjung hotel. Sistem keamanan yang handal diterapkan di setiap ruangan hotel. Kala itu kami berada di Ruang Klasse 2 & 3 di lantai 1 yang cozy banget, meski minimalis tapi membuat nyaman.
November 22, 2016
Wisata Adrenalin : Mendaki Gunung Parang via Ferrata
Matahari mulai menyeruak pagi diantara awan-awan putih. Sejuk udara
terasa bersih dan sedikit dingin. Saya merasakan suasana pedesaan yang
masih asri. Sepanjang jalan, saya mengamati jalanan yang kami lalui.
Penduduk desa yang mulai beraktivitas keluar rumah. Hewan ternak seperti
ayam, bebek, kambing, dan kerbau sesekali menghalangi jalanan kami
menuju perhentian terakhir.
Di kejauhan, bukit tebing cadas meninggi kokoh. Puncak tebing itu
terbelah dua lancip tersorot mentari. Kesanalah tujuan yang hendak kami
tuju. Teman seperjalanan saya hari kemarin (29-30 Oktober 2016) bersama
Bang Oji, Bel dan istrinya.
Tidak lama kemudian, sampailah kami di kampung Cihuni Badega Gunung
Parang berada. Disana terdapat beberapa kelompok wisata yang sama-sama
menyuguhkan wisata pendakian melalui ferrata.
Memasuki
tempat wisata, terdapat jalanan menurun dari bambu. Saung-saung di
pinggir kolam ikan. Di saung tersebut, ada pengunjung beristirahat, ada
pula yang memasak dengan kompor lapangan. Lalu mengelilingi jalanan
setapak di sisi kolam, kami melihat remaja-remaja bule sedang
membersihkan diri. Camping ground dipenuhi tenda-tenda milik
mereka. Menuju ke atas bukit, tepat di bawah Gunung Parang. Terdapat
bangunan seperti pendopo, naik lagi kami berhenti di warung yang menyatu
dengan penginapan milik pengelola obyek wisata tersebut. Diatasnya
pula, terdapat dua saung untuk wisatawan menginap.
Pendakian dimulai pukul tujuh lebih. Kami berjalan melewati hutan
sekitar sepuluh menit lamanya. Pendakian didampingi oleh Mas Aldi.
Sebelum itu, kami memakai harnest yang sudah terhubung dengan tali dan carabiner, beserta helm. Mas Aldi pun menjelaskan tentang cara menggunakan carabiner yang terdiri dari dua bagian untuk dikaitkan diantara sling dan ferrata. Berdoa selesai, kami pun mulai memanjat tebing itu.
Ferrata (bahasa Italia) adalah tangga besi, yang dimasukkan ke dalam
batuan tebing dengan cara dibor. Jenis batuan Gunung Parang adalah
batuan andesit yang sangat keras. Ukuran besi yang dimasukkan sampai
menembus kedalaman 10 cm. Berbentuk seperti huruf U. Menancap kuat
sehingga mampu menopang berat beban ketika diinjak.
Pertamanya, kami memanjat tebing dengan santai dan pelan. Dengan
hati-hati dan waspada. Kemiringan tebing bermacam-macam derajatnya. Alur
ferrata pun random, tidak selalu naik. Kadang menyamping
ataupun berbelok. Semakin naik, kami semakin terlatih. Semakin ke atas,
semakin luas pula view yang dapat kami saksikan. Benar-benar indah
pemandangannya. Petakan sawah yang gundul khas dengan tanah berwarna
coklat. Pohon-pohon hijau di sekitarnya. Bukit berbentuk kerucut tepat
di depan kami, tepat berada di pinggir Waduk Jatiluhur yang dilengkapi
dengan tambak-tambak ikan di sekelilingnya. Di sisi kiri, terdapat
Gunung Lembu, sementara di sisi depan banyak bukit-bukit menonjol ke
atas.
Sesekali kami berhenti dan tertegun memandangi luasnya view di bawah
kami sampai di ujung sana. Matahari mulai meninggi. Rasa panasnya
menemani aktivitas kami pagi itu. Ternyata, waduk di depan kami sangat
luas sekali, mengelilingi hampir 180 derajat lebih. Dari barat hampir ke
tenggara. Di ujung sana tampak jembatan di atas bendungan waduk
tersebut. Di dataran rendah sana yang sangat jauh, daerah Karawang
terlihat.
Kami sangat menikmati suasana di atas sana. Indonesia
memang surga kecil yang ada di bumi. Alamnya begitu potensial.
Perjalanan kami masih panjang. Sampailah di spot untuk beristirahat.
Area yang datar. Berhenti sebentar melepaskan dahaga. Untungnya kami
membawa minuman dengan sedikit makanan. Lalu berfoto-foto mengabadikan
momen.
Jalanan berbelok ke sisi tebing lainnya. Disitu terdapat spot untuk
berfoto yang menunjukkan ketinggian karena berada di ujung tebing.
Kemudian melewati tebing dengan kemiringan hampir 45 derajat.
Benar-benar ngeri melihat ke bawah. Jurang yang dalam sekitar 400 meter
lebih. Kami menyudahi titik pendakian kami di titik 300 mdpl dari titik
awal menaiki ferrata. Memilih ke jalur bawah yang nampak lebih lurus
alurnya.
Gunung Parang sendiri mempunyai titik tertinggi hingga mencapai
ketinggian 900 mdpl. Untuk mencapai puncaknya via ferrata, kemiringan
jalurnya pun makin ekstrim. Melalui titik tebing yang overhang. Selain
melalui ferrata, Gunung Parang dapat didaki melalui jalur hutan.
Menuruni
ferrata ternyata tidak begitu sulit layaknya menuruni kaki-kaki tangga.
Mungkin karena aku sudah terbiasa menggunakan carabiner, bergantian
mengaitkan yang satu di sling ataupun ferrata, maupun ke sling saja.
Sling sendiri memanjang mengikuti alur ferrata. Terbagi-bagi dalam
beberapa meter, terkait oleh pengait yang juga menancap ke dalam tebing,
namun tetap menyambung satu sama lain.
Ini kali pertamanya aku memanjat tebing. Momen yang berkesan pula di
sepanjang perjalanan eksplorasiku mengunjungi keindahan-keindahan
Indonesia. Saya bangga sekali menjadi orang Indonesia, terlahir di bumi
pertiwi yang alamnya sungguh sempurna.
Sampailah kami di titik
akhir. Tepat selama 3 jam total waktu pendakian, seperti kata Mas Aldi.
Kami kembali menuju basecamp (saung) untuk beristirahat dan mengisi
perut yang sudah kelaparan. Tidak lama hujan membasahi Badega Gunung
Parang. Hujan turun begitu deras. Kami pun tertidur pulas di dalam saung
itu.
***
Esok
paginya kami disuguhkan sunrise yang cukup epik. Tepat pukul lima pagi
matahari mulai kembali ke peraduannya dari ufuk timur. Pertama gelap,
sedikit oranye, lalu sepenggal menerawang. Mata kami tidak bosan menatap
keindahan itu. Sungguh nikmatnya bisa berwisata ke Badega Gunung
Parang. Suatu saat entah lusa yang jelas esok, saya ingin kembali lagi
ke Gunung Parang. Buat kalian, jiwa muda yang cinta banget sama
Indonesia, hendaklah segera mengunjungi obyek wisata Gunung Parang,
siapkan nyali dan kantong anda untuk mendapatkan momen yang luar biasa.
Obyek wisata ferrata satu-satunya yang baru ada di Indonesia.
Inilah salah satu dari banyaknya potensi wisata yang ada di Indonesia.
Saya sangat merekomendasikan obyek wisata yang terletak di Kampung
Cihuni Desa Sukamulya Kabupaten Purwakarta, karena selain mudah
dijangkau, jaraknya tidak jauh dari ibukota Jakarta, kurang lebih tiga
jam untuk sampai kesana. Kala itu, kami melewati tol keluar Cikampek
lalu menuju Kota Purwakarta mengarah ke Jatuluhur. Namun terdapat pula
aksea keluar tol lainnya, seperti via Tol Sadang dan via Tol Jatiluhur
(yang lebih dekat dengan lokasi). Ketika kemarin, kami menuju Kecamatan
Sukatani, tidak jauh dari Polsek Sukatani, akan menemukan jembatan, akan
ada jalan sebelah kanan yang sedikit agak rusak sebab daerah itu
kawasan tambang galian C. Dari situ, untuk sampai ke lokasi membutuhkan
sekitar 30 menit dengab kontur jalan menanjak dan tentunya menurun.
Melewati pematang sawah dan suasana perkampungan yang masih terjaga
keasriannya.
Satu yang pasti, apa yang saya amati dari obyek wisata ini adalah
terkait akses jalan infrastruktur yang masih apa adanya. Belum adanya
petunjuk jalan dan marka jalan yang memadai. Jalanan ketika akan sampai
lokasi semakin mengecil sekitar 3 meter, beberapa ada yang amblas
betonnya (kemungkinan tanahnya labil). Saya hanya berharap akses
pendukung mampu menambah kualitas obyek wisata ini agar semakin dikenal
banyak orang, meningkatkan jumlah kunjungan dan bermanfaat bagi
pertumbuhan ekonomi sekitar. Selain itu, inovasi harus terus
dikembangkan seperti penerapan konsep eco-tourism pedesaan yang
memanfaatkan kondisi dan lingkungan agar selalu dapat berkembang secara
berkelanjutan. Karena Gunung Parang bukan sekedar unik, tetapi menarik di hati.
Tulisan ini juga dimuat pula dalam https://kitaina.id/wisata-adrenalin-mendaki-gunung-parang-via-ferrata/
Oktober 27, 2016
Part 1 - Seharian Keliling Jakarta, Bisa!
Weekend
kemaren, saya berkesempatan mengeksplore Ibukota Jakarta bareng blogger
Jabodetabek, Lampung bahkan Bandung yang diadakan oleh IDCorners bertajuk
Jakarta Night Journey. Pada event tersebut, para blogger diajak jalan-jalan
menelusuri wisata ibukota seperti Jakarta Smart City, Balaikota, City Tour, Kota
Tua dan Monumen Nasional.
Kurang
lebih sebanyak 35 blogger hadir di hari sabtu kemarin. Titik pertama yang dituju
adalah Gedung Balaikota lantai 3. Tepatnya lounge Jakarta Smart City. Di dalam
ruangan ini, tersusun meja kerja dengan teknologi modern yang cukup lengkap. Screen
kamera cctv yang memantau kondisi lalu lintas tampak real. Disitu kami
mendengarkan penjelasan pekerja tenaga ahli yang terdengar kental dengan logat bataknya.
Sedikit
review yang saya dapatkan, Jakarta Smart City merupakan akses online warga
Jakarta untuk memantau kondisi, aktivitas, arus informasi yang ada di Jakarta
dan berguna sebagai tempat mengeluarkan aspirasi maupun keluh kesah atas permasalahan
yang masyarakat temui di ibukota.
Melalui
portalnya smartcity.jakarta.go.id , masyarakat dapat mengakses informasi
seperti harga sembako di pasar, update kamar kosong di rumah sakit, harga tanah
per meter persegi, kondisi lalu lintas dan lain-lainnya. Untuk menambah
kualitas, tersedia aplikasi online yang bisa digunakan untuk yaitu Qlue. Selain
itu, terdapat aplikasi pendukung lainnya seperti zomato, trafi, ragunan zoo, go
food, iJakarta, info pangan, dan waze.
Jakarta
Smart City semacam terobosan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam
membangun ibukota dengan kondisi nyata di lapangan, aspirasi dan kritikan seperti
sampah, kerusakan infrastruktur, dan kemacetan arus lalu lintas.
Selesainya,
kami menuju ke lantai dasar, disanalah tempat Gubernur Jakarta beserta
staf-stafnya bekerja. Arsitektur bangunannya antara neo klasik eropa dan
campuran Indonesia. Di lantai dasar lebih banyak ruangan untuk rapat, aula
pertemuan dan hall serbaguna. Menuruni tangga layaknya tangga di film Titanic,
sedikit klasik. Di hall tersebut terpampang gambaran dan tulisan mengenai program-program
seperti progres pengerjaan jalan tol, proyek mrt, jalan layang, normalisasi
Waduk Pluit, penggusuran dan pembangunan rumah susun. Ada pula tulisan sejarah
Jakarta dengan foto Gubernur dan wakilnya.
Melangkah
ke depan, ada ruang galeri foto. Di tembok berderet foto pemimpin Jakarta sejak
dahulu hingga masa Pak Jokowi. Meja kursi disusun rapi dengan vas bunga yang
berisi tumbuhan hidup. Cermin, pot bunga, lampu gantung menambah kemewahan
ruangan itu.
Pada bagian
agak ke depan terdapat ruang tamu, ruang kerja Gubernur, ruang transit tamu, lalu
melangkah keluar ada pendopo dengan taman air mancur.
Para
blogger banyak berfoto mengabadikan momen disitu. Ada pula wisatawan domestik
yang datang berkunjung. Mereka melihat foto-foto, selfie, dan duduk-duduk di
sofa. Saya sedari awal memegang kamera smartphone Asus Zenfone 2 Laser untuk
mengambil gambar. Semua ruang hampir saya potret, dengan angle dari sudut
ruangan, dari atas, dari bawah dan menyeluruh.
Dengan smartphone Asus, saya dapat
dengan cepat menangkap fokus gambar. Didukung fitur kamera yang cukup, resolusi
13 megapiksel dengan bukaan lensa f2.0, saya lebih suka menggunakan mode manual
untuk hasil foto yang lebih orisinil (cukup akurat). Performa multitasking pun sangat
efisien karena dapur pacu, chipset, dan RAM yang mumpuni. Sehabis motret, sesekali
saya langsung mengupdate status ke media sosial (live tweet #EnjoyJakNight) tentang
serunya kegiatan kami saat itu. Namun saya harus menghemat baterai untuk terus
bisa mengambil foto dan momen hingga akhir perjalanan.
Pada
abad ini, smartphone menjadi alat fotografi yang paling simple untuk dipakai.
Dengan menggunakan gawai, saya merasa efisien dan mudah dalam memotret momen.
Secara kualitas, Asus Zenfone yang saya gunakan cukup mumpuni dengan fitur
kameranya, terlebih ketika mendapat cahaya yang optimal. Hasil foto tidak jauh
berbeda dengan kamera digital sejenis mirrorles maupun DSLR yang lebih
fungsional dengan fitur canggihnya. Dengan menggunakan fitur manual, saya cukup
puas mendapatkan hasil foto yang lumayan bagus, namun hasil foto akan semakin
terlihat kualitasnya ketika saya memindahkan ke laptop/komputer.
Baru-baru
ini pula, Asus merilis smartphone Zenfone 3 terbaru yang semakin meningkatkan kualitasnya
untuk user mobile photography. Fitur canggih yang disisipkan dilengkapi akses interface
untuk memudahkan pengguna dalam kecepatan pengambilan momen (gambar). Penambahan
fitur seperti HDR pro, low light,
depth of field (untuk foto makro), dan beberapa efek foto yang bisa digunakan, sedangakan
mode manual diperkaya dengan kecepatan rana kamera sampai dengan 32s, OIS (meminimalisir blur) dan EIS (dalam mode video),
eksposur, auto focus yang hanya membutuhkan 0,03 detik (triTech), ISO serta white balance. Menariknya lagi, dipacu
dengan sensor Sony IMX 298 16 megapiksel,
Zenfone 3 mampu merekam video hingga resolusi 4k. Benar bila tagline produk tersebut
menyatakan bahwa Asus Zenfone 3 Built For Photography. Sedikit membayangkan
pula, kalau saya dapat menggunakan produk tersebut untuk melatih kemampuan berfoto
saya yang masih amatiran pasti akan terbantu sekali dengan fitur-fiturnya
Part 2 - Seharian Keliling Jakarta, Bisa!!
Berlanjut menuju halte pemberhentian city tour. Sembari menunggu
bis datang, kami mencipta momen dengan berfoto bersama. City Tour merupakan fasilitas
gratis bis tingkat yang dapat dinaiki wisatawan untuk mengelilingi daerah/objek
wisata di Jakarta. Terdapat banyak objek wisata yang dapat dikunjungi, antara
lain wisata sejarah, seni dan kuliner. Untuk informasi lengkapnya sila kunjungi @PT_TransJakarta.
Dari
Jalan Merdeka Selatan, bis berjalan menuju Jalan Merdeka Barat. Terlihat patung
MH Thamrin, patung kuda, Monas di kejauhan, dan lalu lalang kendaraan
berseliweran. Kemudian melewati Museum Nasional di sebelah kiri, terlihat
patung gajah di depannya. Lalu bis berjalan ke arah Kota Tua.
Di dalam
city tour, kami dijelaskan oleh guide mengenai sejarah ibukota, makna dan fakta
di masa lampau. Banyak sekali informasi yang saya dengarkan, seperti daerah
harmoni dimana dulunya tempat kaum borjouis hangout dan berdagang, dan terdapat
kanal dari arah Sunda Kelapa sampai dengan kesana yaitu sungai kecil yang ada
sekarang. Berawal dari Sunda Kelapa, Fatahillah melawan bangsa Portugis dan
merubahnya menjadi Jayakarta, lalu direbut Belanda menjadikannya Batavia,
kemudian Jepang menjajah sampai Indonesia merdeka jadilah Daerah Khusus Ibukota
Jakarta.
Bis melewati
Gedung Arsip Nasional. Tahun 1995 gedung tersebut mengalami kerusakan yang parah
akibat banjir. Pengusaha Belanda di Indonesia memberikan dana untuk merenovasi
gedung tesebut dan selesai pada tahun 1998. Selesainya dipugar, Gedung Arsip
Nasional mendapat award dari UNESCO sebagai Cultural Heritage nomor satu se-Asia
Pasifik.
Belum
juga sampai di Kota, jalanan macet dipenuhi mobil-mobil. Melintasi kawasan
pecinan terbesar di Indonesia. Glodok (berasal dari kata Golodog yang artinya
pintu masuk dan dulunya disana ada air bersih mengalir berbunyi Grojok yang
artinya pancuran) sehingga daerah tersebut dikenal dengan nama Glodok Pancoran.
Jalanan makin tersendat. Plan B pun disampaikan oleh Mbak Donna, “kami
tidak berhenti lama Kota Tua”. Kami hanya memutar balik ke arah Monas kembali. Saya
memandangi momen dari atas city tour. Museum Mandiri, Museum Bank Indonesia,
lalu berbelok ke barat, melewati Kali Besar Barat, Toko Merah berjajar mobil
klasik di pelatarannya, gedung-gedung tua disana, dan wisatawan baik asing dan
domestik memadati area Kota Tua. Kami hanya berhenti sebentar untuk berfoto
bersama di depan Museum Fatahillah.
Sekilas informasi dari guide, dulunya di masa VOC, Kota Tua dibenteng
keliling, disekat dinding kota dan kanal. Penduduk pribumi yang masuk kesana
harus memakai passport. Kawasan tersebut dipenuhi dengan kanal-kanal. Terdapat pula
jembatan yang tua di sisi Utara yaitu Jembatan Kota Intan. Pada masa sekarang,
Kota Tua sedang dalam masa renovasi. Beberapa gedung sudah berhasil dipugar
untuk kemudian dijaga keasliannya.
Tujuan
wisata terakhir kami, Monumen Nasional. Kami turun di Halte Barat Monas, lalu berjalan
masuk melalui pintu barat daya. Perut mulai terasa lapar, kami pun makan
bersama disana. Pengunjung Monas cukup ramai. Terlihat booth event sedang
dipersiapkan. Untuk menuju pintu masuk Monas, disediakan mobil kereta yang siap
mengantarkan pengunjung sampai ke tepat pintu masuk menuju terowongan Monas.
Semburat
senja di atas langit. Kami memasuki Monas, berjalan menuju ruang bawah tanah,
hingga bertemu dengan petugas yang mengarahkan untuk naik ke puncak Monas. Di
ruang bawah tanah sendiri, terdapat replika atas cerita kejadian sejarah masa
lampau tentang Indonesia. Kejadian digambarkan dengan sangat jelas dalam bentuk
rupa adegan.
Untuk mencapai
puncak, pengunjung harus menaiki lift dari lantai dasar. Kami memasuki lift
secara bergantian sebanyak sepuluh orang. Petugas lift melayani pengunjung
dengan mengoperasikan lift selama naik dan turun. Katanya sih mereka berganti
tugas selama dua jam lamanya agar tidak bosan. Lift naik ke atas. Lalu terbuka.
Sudah waktu malam ternyata.
Kami keluar dengan antusias. Ini kali pertamanya saya dan sebagian dari kami menginjakkan kaki di Puncak Monas. Area puncak dipagari pembatas besi di sisi pinggir sampai atasnya. Tepat di atas situ lah pucuk emas Monas berada. Terdapat teropong di tiap sudutnya. Angin di atas benar terasa kencang. Kerlap-kerlip lampu nampak temaram. Skyline Jakarta cukup bagus malam itu.
Akhirnya
inilah final destination dari perjalanan kami seharian, Jakarta Night Journey,
menikmati malam minggu bersama di puncak monas yang romantis dan seru. Asik
rasanya berlama-lama menatap skyview Jakarta. Saya tak bosan berkeliling di
tiap sisinya. Di Timur Laut, terlihat Mesjid Istiqlal ditemani Gereja Katedral.
Mereka nampak damai dan sunyi. Memang berbeda namun mereka saling toleransi.
Inilah wajah Ibukota. Semua bisa ditemukan dan ada disini. Saya berharap
keragaman ini tidak menjauhkan, tetapi justru saling mendekatkan dan
mempersatukan. Di sisi Timur, terlihat Stasiun Gambir. Rel kereta tersusun
memanjang. Kereta listrik (commuter) yang lewat menambah keapikan momen malam
itu. Di sisi Selatan, lebih banyak pencakar langit berdiri saling meninggi satu
sama lain. Sedangkan di sisi Barat, hanya beberapa skyscrapper mengisi ruang
disana. Sementara sisi utara, lebih terlihat bangunan-bangunan yang rendah.
Saya menggunakan teropong, bangunan yang jauh terlihat dekat,
seperti hendak membidik, namun gambarnya agak sedikit blur (kabur). Malam itu, hampir
semua sibuk dengan kamera dan smartphone masing-masing untuk mengambil gambar,
selfie, dan merekam video. Sesekali berfoto wefie. Entah ungkapan apa yang lagi.
Yang jelas kami semua bahagia. Semuanya hampir sempurna.
Tidak
lama, kami menuruni puncak, dan turun menuju cawan Monas. Area ini lebih luas
untuk tempat bercengkerama satu sama lain. Kami pun mengakhiri perjalanan malam
itu. Langit Monas mulai berawan, terlihat sedikit terang dengan pantulan
temaram cahaya lampu Ibukota.
“Tulisan
ini diikutsertakan dalam Jakarta Night Journey Blog Competition oleh Indonesia Corners
(www.idcorners.com) yang disponsori oleh Asus Indonesia”