“Hampir semua orang Jawa Tengah pasti tahu dan pernah mendengar apa itu Baturraden. Namun apakah semua orang itu tahu akan keindahan alam, budaya, dan jejak sejarah yang potensial di tanah ini, lebih tepatnya di bawah kaki Gunung Slamet, gunung tertinggi di Jawa Tengah.”
Menelisik
ke belakang, legenda Baturraden versi Kadipaten Kutaliman, memang memiliki
kisah yang menarik untuk dirunut secara makna.
Alkisah,
bernama Suta, seorang pemuda yang mengabdi sebagai pembantu di Kadipaten
Kutaliman. Setiap harinya bertugas merawat dan membersihkan kuda milik Adipati,
sebagai hewan kebanggaannya yang melambangkan kekuatan/ketangguhan ketika di
medan perang.
Suatu
ketika, Suta mengelilingi wilayah kadipaten untuk mencari tahu seluruh area
lokasi kadipaten yang amatlah luas. Lalu, ia mendengar suara perempuan meminta pertolongan.
Tidak disangka, ada bahaya mengintai perempuan itu. Seekor ular sangat besar
hendak memangsanya. Dengan sigap, ia pun segera menyelamatkan perempuan itu dengan
menyabetkan tubuh ular tersebut dengan sebilah pedang. Alhasil, perempuan itu dapat diselamatkan. Ternyata, Suta telah menyelamatkan Sang Putri Adipati. Sejak pertemuan
itulah, pucuk dicinta ulam pun tiba.
Namun
sayang, kisah cinta mereka sempat kandas akibat status sosial yang berbeda. Bahkan,
Adipati sempat murka saat Suta hendak melamar anaknya. Hukuman penjara bawah
tanah disanksikan sebagai ganjaran kepada Suta. Sang Putri tidak menerima
perlakuan ayahnya tersebut sebab ia merasa sayang yang mendalam kepada Suta.
Upaya melobi penjaga pun dilakukannya untuk membebaskan sang kekasih dari
tahanan penjara.
Sampailah
pada aksi nekat mereka pergi dan meninggalkan kadipaten untuk selamanya. Mereka
menunggangi kuda dan menuju ke arah selatan Gunung Slamet. Disana
mereka menetap untuk hidup bersama. Di tempat itulah yang kini dikenal dengan
nama Baturraden. Memiliki arti dalam dua padanan kata, yakni Batur yang berarti
Pembantu, serta Raden yang memiliki arti Bangsawan. Itulah arti dari kisah
Batur dan Raden, Suta dan Sang Putri Adipati, yang mendapatkan kebahagiaan atas
perjuangan cinta mereka yang sejati. Tempat perhentian mereka pula yang
sekarang terkenal se-antereo Banyumas, maupun Jawa Tengah.
“Baturraden
memang diciptakan Tuhan sebagai tempat yang indah sekaligus untuk tempat merasakan kedamaian yang bersandingkan
dengan alam. Udara yang sejuk. Hijaunya pepohonan. Aliran sungai yang
gemericik. Persawahan menyebar. Sampai gunung pun menjulang.”
Pesona
Alam Kalipagu
Bermula
dari Dusun Kalipagu, tempat terakhir kendaraan motor yang aku kendarai
terparkir. Sebuah area pemukiman penduduk yang masuk ke dalam Kawasan Perhutani KPH Banyumas Timur. Lebih tepatnya, dusun yang aku kunjungi ini, berada di Desa
Ketenger, Baturraden.
Kakiku
melangkah maju di pagi itu. Melewati jalanan setapak berbatu. Pipa baja
berwarna hijau berukuran besar terpasang memanjang dari arah dam/bendungan. Mataku mulai dipandangi dengan view alam yang benar-benar tropis. Area persawahan, perbukitan ditumbuhi damar juga
pinus, kandang kambing sejajar dengan sawah milik petani, dan megahnya Gunung
Slamet di utara, kakinya penuh dihiasi bermacam jenis pohon yang jelas berwarna
hijau merata. Lestari dan masih alami sekali alamnya. Aku merasa betah, pun nyaman
berjalan-jalan disana.
Kanan-kiri,
sepanjang jalanan, tarpaut jarak beberapa meter, ibu-ibu menawarkan dagangan mereka yang
berisikan makanan dan minuman di bawah gubug. “Mriki mas, mendhoane anget-an get. Mampir mas.”,
seorang ibu menyapa ramah. Aku menjawab hemat, “nggih bu, mangke.” . Terus
berjalan, lagi-lagi ibu penjual dawet menjajakan jualannya hingga sampai ke pedagang
yang berjualan di dekat area dam.
Tidak
jauh, setelah melewati dam PLTA Ketenger, rute berbelok ke kanan, menyebrangi
jembatan kayu di atas Kali Banjaran. Batu-batuan besar mengisi di bawahnya. Volume
air terlihat sangat sedikit, mungkin karena dialirkan pararel ke arah
bendungan.
Kontur
jalan sedikit menaik. Dikelilingi tumbuhan hijau. Aku merasakan kesejukan.
Kualitas udaranya terasa segar. Masih beraroma alami. Seperti menemukan tempat yang
diidamkan selama ini. Sangat menenangkan pikiran. Alam menyambut dengan suara habitatnya.
Tidak
lama kemudian, aku sampai di area taman bunga. Di plang kayu itu tertulis Taman
Nagasari Jenggala. Terdapat aliran air kecil mengisi celah lekukan. Melewati batuan
cadas. Ada seorang bapak tua, sedang bekerja, sepertinya masih terus merapikan tempat itu.
Suara air jatuh semakin kencang. Semakin
dekat, aku menuju ke selfie deck (area swafoto). Tampaklah rupa Jenggala yang
deras mengalir jatuh. Terdapat tiga bagian aliran air. Yang paling lebar adalah
bagian tengah, sekitaran empat meter. Lalu terputus, baik di sisi kanan dan
kirinya adalah bagian yang kecil. Yang bagian kanan, airnya lebih anggun jatuhnya
sebab terhalang oleh kontur sungai yang berundak-undak.
Aku
berjalan lebih maju ke sisi kanan yang lebih dekat dengan tebing jurang. Melihat
ke bagian bawah. Batu-batu cadas ditabrak air mengalir deras. Disitu, aku melihat
suguhan pelangi. Pembiasan sinar matahari terjadi diantara air yang jatuh
terbawa angin pada sisi curug bagian kiri. Berwarna merah, kuning, hijau, biru, ungu berpadu satu. Sungguh fenomena alam yang menarik sekali.
Area
itu dikelola sangat rapi. Taman bunga ditanami bermacam-macam tumbuhan. Tempat
beristirahat/gazebo dibangun dengan material bambu. Selfie deck berbentuk hati persis
menghadap ke arah Jenggala. Inilah magnet curug ini, melihat perkembangan zaman
dan teknologi, dimana orang-orang mengungkapkan eksistensinya dengan berswafoto. Untuk menggunakan selfie deck,
pengunjung diharuskan melepas alas kaki agar tetap bersih.
Wisata
Alam Haruslah Berkelanjutan
Area
itu dikonsep sebagai tempat wisata yang berkelanjutan. Ini merupakan poin penting dari
hadirnya spot wisata dengan memanfaatkan potensi alam itu sendiri. Curug
Jenggala di Kalipagu yang diurus oleh LMDH Gempita Desa Ketenger bersama Perum
Perhutani, sangatlah harus menjaga kelestarian kawasan hutan yang sebagian
habitatnya dieksploitasi untuk akses infrastruktur wisata yang layak untuk dikunjungi.
Aku
melihat tersedianya beberapa tempat sampah di sepanjang jalan sampai dengan di
tempat wisata. Beberapa akses tempat istirahat/gazebo dan warung pedagang tersedia cukup layak. Restorasi
alam dengan menanam tumbuhan baru agar tetap lestari. Papan petunjuk sudah
cukup tersedia, yang terdiri dari informasi maupun larangan yang perlu
diperhatikan pengunjung. Hanya saja, masih kurangnya adalah fasilitas toilet dan juga musholla (yang katanya akan segera direalisasikan karena menunggu anggaran).
Beberapa
anak muda (pengelola) ditugaskan untuk mengawasi area curug agar menjaga
kelestarian tempat itu dari pengunjung yang tidak bertanggungjawab atau kurang
menjaga kelestarian alam. Selain itu, mereka juga bertugas mengontrol kebersihan
tempat itu dengan mengepel selfie deck dan gazebo dengan air bersih, yang mungkin kadang
kecolongan oleh pengunjung yang tidak mematuhi aturan dengan tetap memakai alas kaki mereka untuk berswafoto.
“Baturraden
sangatlah luas. Salah satu keindahannya, ada pada pesona Kalipagu. Zaman baheula,
sangatlah tepat, pilihan Suta dan Sang Putri Adipati pergi jauh ke tempat ini.
Hingga kini pun, bagi saya, tempat ini masih begitu eksotis untuk dieksplore.
Teramat banyak potensi wisata alam di lereng selatan Gunung Slamet ini.
Kekayaan alamnya tersimpan begitu banyak.”
"Tulisan ini
diikutsertakan dalam lomba Blog Legenda pariwisata Jawa Tengah 2017 yang
diselenggarakan oleh Dinas Kepemudaan, Olahraga dan Pariwisata Provinsi Jawa
Tengah".