Tak jauh ke wilayah selatan Purwokerto, tepatnya di Desa Tumiyang ada bukit keren dengan view menarik Sungai Serayu dan Gunung Slamet (bila cuaca sedang cerah). Saya sudah mengagendakan untuk kesana jauh-jauh hari setelah mengetahui keberadaan bukit tersebut dari media sosial instagram.
Tepat H+3 lebaran kemarin, saya ditemani pasangan setia perjalanan saya, Irmales. Dari rumah, sedikit malas rasanya mau pergi-pergi sebab kacamata pecah sebelah kiri. Selain pandangan yang tidak fokus, gak enak di mata kalau melihat objek yang jauh. Tampak kabur, bahkan tidak teridentifikasi.
Rencana sebelumnya, kami hendak ke Gunung Prau. Rasa malas saya menggugurkan janji kepada kakak tercinta saya yang pengen kebangetan diajakin kesana. Memberi tahu beberapa foto bukit batu meja kepadanya. Langsung lah dia setuju dengan destinasi yang tak jauh jaraknya dari rumah kami itu.
Kami berangkat pukul 3 sore lebih. Melebihi ekspektasi jarak tempuh setengah jam, kami sampai disana pukul 4.10 WIB. Setelah melewati Pasar Patikraja, melewati jembatan satu arah sampai dapat pertigaan, lurus terus ambil ke kanan mengarah ke Kebasen. Terus mengikuti jalanan sampai bertemu bukit yang dikepras dozzer. Tak jauh akan ada plang Satria Foto sebelah kiri, masuk ke gang tersebut dan ambil ke arah kiri sedikit menanjak dengan jalanan disemen. Parkiran motor di rumah warga tepat sebelah kanan. Disitu ada dua adik-adik yang menjaga parkir disitu. Kata mereka. "jalannya naik ke atas dan masih susah". Sesusah apa sih treknya, batin saya.
Trek ke atas bukit |
Perjalanan selanjutnya, kami mendaki bukit dengan rute lurus menanjak dengan jalanan yang masih apa adanya. Benar kata adik-adik penjaga parkir, jalanan menuju ke atas masih susah. Buset dah. Kontur tanah gembur, lumayan terjal, menanjak lurus sampai ke atas. Melewati tumbuhan bambu, ladang perkebunan singkong, pisang, dan pohon milik warga yang tanah dan tanamannya terlihat bekas sering dipijak. Agak sulit melewati trek saat itu karena selain tanahnya yang sedikit licin, kami hanya berpegang pada tumbuhan di sekitar yang dikira mampu menjadi pegangan. Bukitnya sih tidak terlalu tinggi, hampir sebelas duabelas seperti mendaki Bukit Sikunir. Lama-kelamaan capek juga. Untung saja kami membawa air mineral. Kami berhenti perlahan. Mulai terlihat Sungai Serayu di bawah sana. Sudah hampir setengah jam untuk sampai ke atas bukit.
Terdengar suara kereta lewat. Saya hampir menginjakkan kaki di atas dataran bukit itu. Saya berlari, kemudian belok ke arah kanan, dimana batu-batuan terlihat random. Saya merekam momen kereta tepat melintasi jembatan di atas Sungai Serayu. Suara gesekan keras terdengar sampai ke atas bukit. Rasa lelah terbayar dengan tegukan air mineral. View bukit di seberang depan, segala jenis kendaraan di sisi jalanan, terlihat rel kereta mempercantik landscape, persawahan menguning di bawah berjejer dengan alur tepi sungai, liukan sungai cukup lebar memanjang dari hulu, dan jembatan kereta berdiri kokoh di atas sungai. Indah ! Perpaduan antara hijau dan putih. Sayang, cuaca kurang bersahabat dan sedikit gelap ditutupi awan putih menyebar di atas langit. Gunung Slamet pun tidak terlihat. Mungkin lain kali saya harus kesana lagi.
Bukit Batu Meja |
Saya melihat potensi itu. Potensi alam Indonesia yang memang benar adanya. Potensi yang harus dikembangkan. Saya pun mempunyai mimpi untuk mengembangkan sektor wisata disana kelak. Saya bermimpi di masa depan, saya bisa membangun sektor wisata tersebut agar lebih hidup. Lebih inovatif ! Saya bermimpi sungai di depan saya, yang telah menjadi sumber kehidupan banyak orang sejak dahulu, mengalir tenang sampai ke laut dan memberikan banyak kegunaan, semoga bisa seperti Sungai Seine yang membelah Kota Paris menjadi dua sisi, la rive droite (tepi kanan) dan la rive gauche (tepi kiri). Saya membayangkan apabila sungai di depan saya itu dibangun menjadi jalur lalu lintas air komersial dan tujuan wisata yang menghubungkan Kota Lama Banyumas, melewati Desa Papringan (yang katanya sentra batik di Banyumas), hingga sampai ke Bendungan dengan menjual apa sih sebenernya yang melekat di Banyumas itu sendiri. Banyumas punya Bawor, punya mendhoan, punya Baturraden, dan Banyumas punya Serayu.
Semoga tidak hanya mimpi, semoga Tuhan menghendaki.
View Bukit Batu Meja |
Hanya kami di atas sana. Saya berlalu meninggalkan kakak saya, berjalan ke sebuah batu coklat yang terletak di ujung berdiri di pinggir bukit agak menggantung seperti sebuah meja. Itulah filosofi nama bukit ini dinamakan.
Batu Meja |
Saya duduk di atas batu itu, menikmati pesona alam di kala sore. Matahari sedikit menembus awan sebentar saja. Tidak lama lalu menghilang. Semakin pekat. Suasana sepi dan sunyi. Berisik di bawah sana terdengar samar. Sejak kedatangan kami disana, sebanyak lima kereta api melewati dari masing-masing kedua arah. Suara gesekan besi beradu kuat ketika melewati jembatan terdengar sangat keras .
Di atas Batu Meja |
Beberapa orang mulai berdatangan. Mereka pun dari sekitaran Banyumas. Hingga akhirnya kami pulang melaluin jalan yang berbeda saat menaiki bukit itu. Dari sisi belakang bukit, melewati pepohonan pinus yang katanya jalannya lebih landai. Hampir datang waktu mahgrib. Saya bingung karena jalanan tidak berujung, padahal kami sudah berjalan jauh. Kami bertemu dengan pengunjung lainnya yang sama-sama mencoba jalan tersebut dan sama-sama pula tidak tahu jalan ujungnya. Alhasil, kami tersesat sama-sama, membuka jalan sendiri, hingga akhirnya kami menemukan rumah warga yang jaraknya cukup jauh dari tempat kami memarkirkan motor. Tersesat adalah bagian dari sebuah perjalanan. Bagian dimana kita harus bertahan dan mencari jalan pulang.
Jalan lewat pohon pinus |
Sampainya di parkiran. Lumayan banyak motor terparkir disana. Beberapa orang duduk di teras rumah. Seorang bapak menyapa,"gimana mas pemandangannya?".
"lumayan bagus pak, cuacanya aja yang lagi gak cerah. hehe."
"iya mas, kalau cuacanya lagi bagus, Gunung Slametnya kelihatan jelas."
"iya pak, tadinya sih ngarep dapat awan yang bagus. Udah berapa lama dibukanya pak? jalannya cuma dari sini aja ya? katanya ada jalan memutar itu lewat mana?", tanya saya.
"udah sebulan mas, jalannya emang lebih dekat dari sini, jalannya susah ya? nanti habis lebaran mulai diperbaiki. Kalau jalan memutar bukan lewat sini, itu lewat Mandiracan (cmiiw, soalnya gak begitu kedengeran). Bayar parkir cuma untuk karang taruna disini buat ngembangin lagi. Diajakin ya mas temen-temennya biar pada kesini.", kata si Bapak menjelaskan.
"oke pak, pasti itu."
"oh ya motor ini tau gak punya siapa? apa di atas masih ada orang?"
"gak tau pak, tadi sih masih ada rombongan naik terakhir pas kami turun".
Saya memberikan uang parkir kepada mereka, lalu bergegas pulang melewati jalanan yang cukup ramai, dan berhati-hati di kegelapan malam.
Jadi, mau kapan lagi kalian berkunjung ke Banyumas ?
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus