Pecak Bandeng dan Udang Bakar |
Berkunjung ke Kota Serang Banten, ada kuliner khas yang rekomen
untuk dicicipi disana karena rasa kelezatannya. Pecak Bandeng namanya.
Kunjungan ketika mengeksplorasi wisata Banten Lama, saya sempatkan mencoba
kudapan Rumah Makan Pecak Bandeng yang berada di Jalan Raya Pontang Km 10 Sawah
Luhur.
Mampir ke saung makan ini, tidak lain setelah mendapat informasi
dari Aghi yang baru saja kami temui beberapa puluh menit yang lalu di halaman
Museum Banten. Teman baru kami ini, akhirnya menemani perjalanan kami di Banten
Lama hingga menjelang sore hari.
Aghi rupanya suka jalan sama seperti kami. Bedanya dia sudah
melanglang ke destinasi luar negeri. Sedang Aku dan Agus masih terlalu
cinta sama Indonesia. Klasik terdengar. Ya, itu alasanku saat ditantang Aghi
untuk ke luar negeri. Alasan besarnya adalah keterbatasan waktu dan dana. Di
mobil, kami banyak berbagi cerita perjalanan. Sampai sepakat, Aghi mau
mengantarkan kami ke beberapa titik wisata yang bisa dikunjungi.
Perjalanan ke Banten bisa dibilang tanpa perencanaan yang
matang. Bahkan semalam, kami hampir menggelandang sebab tidak mendapatkan motor
sewaan sehingga merubah itinerary yang sudah saya buat sebelumnya. Kenapa berkunjung Banten adalah selain jaraknya yang dekat dengan Jakarta, saya mempunyai misi
untuk menuntaskan enam kunjungan ke ibukota provinsi yang ada di Tanah Jawa.
Jakarta, Jogja, Surabaya, Bandung, Semarang dan terakhir Banten tercapai juga.
Ya walaupun dulu ketika tinggal di Sumatera, saya sering melintasi kota ini
dengan kendaraan bus lintas provinsi lintas pulau. Faktanya, misi eksplorasi
ini turut memenuhi rasa penasaran saya akan jejak rekam sejarah dan momen besar bangsa ini lima abad silam.
Setelah berkeliling cukup lama di Istana Kaibon, kami hendak
menuju ke destinasi berikutnya yaitu Masjid Agung. Jalanan mulai tersendat ketika melewati jembatan
bercat warna-warni. Bermacam jenis kendaraan mengarah ke
masjid. Hingga akhirnya, Aghi memutarbalik laju mobilnya. Berbelok ke kiri
menuju ke utara lalu sedikit ke timur. Melewati areal tanah rawa yang kering
dan lapang. Banyak tambak ikan berjejeran di sisi jalanan yang kami lalui.
Kondisi jalanan cukup lengang. Sangat berbeda jauh dengan kondisi jalanan
ketika 10 menit yang lalu. Pun tidak jauh jaraknya. Hanya enam sekian
kilometer saja.
Saung pengunjung berada di sebelah utara |
Setibanya disana, saya, Agus dan Aghi langsung memesan Pecak
Bandeng, udang bakar, kang kumis (kangkung), dan es tawar di kertas menu yang
disediakan. Saya menyaksikan di meja pengunjung yang lebih dulu datang, sajian
ikan di tengah-tengah mereka. Tentu menambah rasa penasaran saya dengan kuliner khas
yang satu ini.
Suasana rumah makan semakin ramai. Orang datang silih
berganti. Bukan hanya karena waktunya makan siang. Namun ternyata tempat makan ini sudah begitu
terkenal. Aghi sebagai guide kami menjelaskan kalau rumah makan ini memang
pionir Pecak Bandeng khas Banten. Orang jauh (pengunjung) sering datang untuk
langsung menikmati Pecak langsung di tempat ini. Menawarkan suasana yang berbeda meski bukan di pinggir
pantai, melainkan di area lahan rawa yang sudah mengering.
Tidak lama, makanan kami datang. Sebakul nasi. Tiga porsi
ikan bandeng tersaji di atas piring tembikar beralaskan daun pisang dengan
sambal pecak di atasnya. Sepiring sayur lalapan, seperti kol, mentimun,
kemangi, dan entah daun apa namanya untuk yang satunya. Tiga mangkuk sayur asem
dan tumis kangkung. Setusuk udang bakar dengan sambal ijo. Sangat menggoda
sekali. Tapi hal pertama yang saya lakukan adalah memotret makanan. Hehehe. Sindrom generasi milenial seringnya mendahulukan jepretan
kenangan, baik untuk tujuan yang penting maupun yang tidak bernilai sama sekali. Ya cukup lima menit saja kok.
Aghi dan Agus menikmati dalam diam, saking nikmatnya apa laper nih. |
Saya mulai mencicipi ikannya. Durinya cukup banyak terasa. Saya
berhati-hati makan daging ikannya sebab tulang durinya kecil dan halus. Lain dengan ikan bandeng presto (duri lunak), santapan ini berupa ikan bandeng segar, dimana proses masaknya dibakar lalu dilumuri sambal pecak. Rasanya menggigit di lidah. Pedasnya membuat nagih dan nikmat.
Sebagai penikmat menu ikan dan rasa pedas, tentu saya doyan menghabiskan kuliner Pecak Bandeng. Agus dan Aghi juga lahap menikmatinya sampai
menyisakan piring yang kosong. Saya tidak ketinggalan. Menyusul mereka.
Memakan udang, kangkung, ikan. Lalu mencicipi sayur asem. Hanya tersisa
lalapan saja yang belum dimakan. Saya sangat menikmati ikan bandeng bahkan sampai
ke bagian kepala dan ekor. Alhamdulillah, kenyang. Terasa nikmat sekali.
Sebagai informasi, harga makanan yang kami pesan pun begitu terjangkau. Sesuai
dengan kantong teman pejalan. Makan bertiga dengan porsi sedang merogoh kocek sebesar
119k saja. Per orang hanya 40k kalau dirata-rata. Sangat rekomen sekali bukan.
Sekian ulasan saya berbagi tentang kuliner khas Pecak Bandeng. Tentu kalian harus merasakannya sendiri ya. Kalau berkunjung ke Banten, bisa banget untuk mampir ke warung makan yang terletak di Sawah Luhur. Rasakan sensasi kenikmatan Pecak Bandeng, satu kuliner jawara khas Banten.
Sekian ulasan saya berbagi tentang kuliner khas Pecak Bandeng. Tentu kalian harus merasakannya sendiri ya. Kalau berkunjung ke Banten, bisa banget untuk mampir ke warung makan yang terletak di Sawah Luhur. Rasakan sensasi kenikmatan Pecak Bandeng, satu kuliner jawara khas Banten.