Matahari mulai menyeruak pagi diantara awan-awan putih. Sejuk udara
terasa bersih dan sedikit dingin. Saya merasakan suasana pedesaan yang
masih asri. Sepanjang jalan, saya mengamati jalanan yang kami lalui.
Penduduk desa yang mulai beraktivitas keluar rumah. Hewan ternak seperti
ayam, bebek, kambing, dan kerbau sesekali menghalangi jalanan kami
menuju perhentian terakhir.
Di kejauhan, bukit tebing cadas meninggi kokoh. Puncak tebing itu
terbelah dua lancip tersorot mentari. Kesanalah tujuan yang hendak kami
tuju. Teman seperjalanan saya hari kemarin (29-30 Oktober 2016) bersama
Bang Oji, Bel dan istrinya.
Tidak lama kemudian, sampailah kami di kampung Cihuni Badega Gunung
Parang berada. Disana terdapat beberapa kelompok wisata yang sama-sama
menyuguhkan wisata pendakian melalui ferrata.
Memasuki
tempat wisata, terdapat jalanan menurun dari bambu. Saung-saung di
pinggir kolam ikan. Di saung tersebut, ada pengunjung beristirahat, ada
pula yang memasak dengan kompor lapangan. Lalu mengelilingi jalanan
setapak di sisi kolam, kami melihat remaja-remaja bule sedang
membersihkan diri. Camping ground dipenuhi tenda-tenda milik
mereka. Menuju ke atas bukit, tepat di bawah Gunung Parang. Terdapat
bangunan seperti pendopo, naik lagi kami berhenti di warung yang menyatu
dengan penginapan milik pengelola obyek wisata tersebut. Diatasnya
pula, terdapat dua saung untuk wisatawan menginap.
Pendakian dimulai pukul tujuh lebih. Kami berjalan melewati hutan
sekitar sepuluh menit lamanya. Pendakian didampingi oleh Mas Aldi.
Sebelum itu, kami memakai harnest yang sudah terhubung dengan tali dan carabiner, beserta helm. Mas Aldi pun menjelaskan tentang cara menggunakan carabiner yang terdiri dari dua bagian untuk dikaitkan diantara sling dan ferrata. Berdoa selesai, kami pun mulai memanjat tebing itu.
Ferrata (bahasa Italia) adalah tangga besi, yang dimasukkan ke dalam
batuan tebing dengan cara dibor. Jenis batuan Gunung Parang adalah
batuan andesit yang sangat keras. Ukuran besi yang dimasukkan sampai
menembus kedalaman 10 cm. Berbentuk seperti huruf U. Menancap kuat
sehingga mampu menopang berat beban ketika diinjak.
Pertamanya, kami memanjat tebing dengan santai dan pelan. Dengan
hati-hati dan waspada. Kemiringan tebing bermacam-macam derajatnya. Alur
ferrata pun random, tidak selalu naik. Kadang menyamping
ataupun berbelok. Semakin naik, kami semakin terlatih. Semakin ke atas,
semakin luas pula view yang dapat kami saksikan. Benar-benar indah
pemandangannya. Petakan sawah yang gundul khas dengan tanah berwarna
coklat. Pohon-pohon hijau di sekitarnya. Bukit berbentuk kerucut tepat
di depan kami, tepat berada di pinggir Waduk Jatiluhur yang dilengkapi
dengan tambak-tambak ikan di sekelilingnya. Di sisi kiri, terdapat
Gunung Lembu, sementara di sisi depan banyak bukit-bukit menonjol ke
atas.
Sesekali kami berhenti dan tertegun memandangi luasnya view di bawah
kami sampai di ujung sana. Matahari mulai meninggi. Rasa panasnya
menemani aktivitas kami pagi itu. Ternyata, waduk di depan kami sangat
luas sekali, mengelilingi hampir 180 derajat lebih. Dari barat hampir ke
tenggara. Di ujung sana tampak jembatan di atas bendungan waduk
tersebut. Di dataran rendah sana yang sangat jauh, daerah Karawang
terlihat.
Kami sangat menikmati suasana di atas sana. Indonesia
memang surga kecil yang ada di bumi. Alamnya begitu potensial.
Perjalanan kami masih panjang. Sampailah di spot untuk beristirahat.
Area yang datar. Berhenti sebentar melepaskan dahaga. Untungnya kami
membawa minuman dengan sedikit makanan. Lalu berfoto-foto mengabadikan
momen.
Jalanan berbelok ke sisi tebing lainnya. Disitu terdapat spot untuk
berfoto yang menunjukkan ketinggian karena berada di ujung tebing.
Kemudian melewati tebing dengan kemiringan hampir 45 derajat.
Benar-benar ngeri melihat ke bawah. Jurang yang dalam sekitar 400 meter
lebih. Kami menyudahi titik pendakian kami di titik 300 mdpl dari titik
awal menaiki ferrata. Memilih ke jalur bawah yang nampak lebih lurus
alurnya.
Gunung Parang sendiri mempunyai titik tertinggi hingga mencapai
ketinggian 900 mdpl. Untuk mencapai puncaknya via ferrata, kemiringan
jalurnya pun makin ekstrim. Melalui titik tebing yang overhang. Selain
melalui ferrata, Gunung Parang dapat didaki melalui jalur hutan.
Menuruni
ferrata ternyata tidak begitu sulit layaknya menuruni kaki-kaki tangga.
Mungkin karena aku sudah terbiasa menggunakan carabiner, bergantian
mengaitkan yang satu di sling ataupun ferrata, maupun ke sling saja.
Sling sendiri memanjang mengikuti alur ferrata. Terbagi-bagi dalam
beberapa meter, terkait oleh pengait yang juga menancap ke dalam tebing,
namun tetap menyambung satu sama lain.
Ini kali pertamanya aku memanjat tebing. Momen yang berkesan pula di
sepanjang perjalanan eksplorasiku mengunjungi keindahan-keindahan
Indonesia. Saya bangga sekali menjadi orang Indonesia, terlahir di bumi
pertiwi yang alamnya sungguh sempurna.
Sampailah kami di titik
akhir. Tepat selama 3 jam total waktu pendakian, seperti kata Mas Aldi.
Kami kembali menuju basecamp (saung) untuk beristirahat dan mengisi
perut yang sudah kelaparan. Tidak lama hujan membasahi Badega Gunung
Parang. Hujan turun begitu deras. Kami pun tertidur pulas di dalam saung
itu.
***
Esok
paginya kami disuguhkan sunrise yang cukup epik. Tepat pukul lima pagi
matahari mulai kembali ke peraduannya dari ufuk timur. Pertama gelap,
sedikit oranye, lalu sepenggal menerawang. Mata kami tidak bosan menatap
keindahan itu. Sungguh nikmatnya bisa berwisata ke Badega Gunung
Parang. Suatu saat entah lusa yang jelas esok, saya ingin kembali lagi
ke Gunung Parang. Buat kalian, jiwa muda yang cinta banget sama
Indonesia, hendaklah segera mengunjungi obyek wisata Gunung Parang,
siapkan nyali dan kantong anda untuk mendapatkan momen yang luar biasa.
Obyek wisata ferrata satu-satunya yang baru ada di Indonesia.
Inilah salah satu dari banyaknya potensi wisata yang ada di Indonesia.
Saya sangat merekomendasikan obyek wisata yang terletak di Kampung
Cihuni Desa Sukamulya Kabupaten Purwakarta, karena selain mudah
dijangkau, jaraknya tidak jauh dari ibukota Jakarta, kurang lebih tiga
jam untuk sampai kesana. Kala itu, kami melewati tol keluar Cikampek
lalu menuju Kota Purwakarta mengarah ke Jatuluhur. Namun terdapat pula
aksea keluar tol lainnya, seperti via Tol Sadang dan via Tol Jatiluhur
(yang lebih dekat dengan lokasi). Ketika kemarin, kami menuju Kecamatan
Sukatani, tidak jauh dari Polsek Sukatani, akan menemukan jembatan, akan
ada jalan sebelah kanan yang sedikit agak rusak sebab daerah itu
kawasan tambang galian C. Dari situ, untuk sampai ke lokasi membutuhkan
sekitar 30 menit dengab kontur jalan menanjak dan tentunya menurun.
Melewati pematang sawah dan suasana perkampungan yang masih terjaga
keasriannya.
Satu yang pasti, apa yang saya amati dari obyek wisata ini adalah
terkait akses jalan infrastruktur yang masih apa adanya. Belum adanya
petunjuk jalan dan marka jalan yang memadai. Jalanan ketika akan sampai
lokasi semakin mengecil sekitar 3 meter, beberapa ada yang amblas
betonnya (kemungkinan tanahnya labil). Saya hanya berharap akses
pendukung mampu menambah kualitas obyek wisata ini agar semakin dikenal
banyak orang, meningkatkan jumlah kunjungan dan bermanfaat bagi
pertumbuhan ekonomi sekitar. Selain itu, inovasi harus terus
dikembangkan seperti penerapan konsep eco-tourism pedesaan yang
memanfaatkan kondisi dan lingkungan agar selalu dapat berkembang secara
berkelanjutan. Karena Gunung Parang bukan sekedar unik, tetapi menarik di hati.
Tulisan ini juga dimuat pula dalam https://kitaina.id/wisata-adrenalin-mendaki-gunung-parang-via-ferrata/