Dava, Kevin, Nindy, & Saya
Kali ini, aku ingin bercerita sedikit. Momen malam
minggu kemarin. Ya. Sederhana saja kenapa aku ingin menuliskannya. Jadi begini
awal ceritanya sobat.
Sabtu 14 September 2019 adalah hari yang sudah ku
siapkan jauh-jauh hari untuk bertemu dengan sahabatku semasa kuliah. Sudah lama
aku tidak berjumpa mereka. Kami meet-up di Kokas saat makan siang hingga
menjelang sore hari. Aku memang sudah punya lis acara setiap akhir pekan. Maka,
untuk sekadar bertemu sahabat ataupun keluarga di Jakarta harus diagenda dari
jauh-jauh hari.
Menjelang maghrib, pulang dari Kokas, saya naik ojol
menuju Halte Kuningan Barat. Melanjut naik Transjakarta, lalu turun di Jembatan
Dua. Dari halte, saya berjalan menuju ke masjid di depan Taman Kalijodo untuk
sholat sebentar. Saya melihat ada bus tingkat rute ke Monas di
seberang. Ide mendadak muncul tiba-tiba.
Sampai di rumah kakakku. Mereka semua sedang bersantai
di ruangan bawah. Lalu aku salim, karena sudah hampir sebulan lebih tidak
mampir kesini, dan ponakanku pun ikutan salim. Perutku pun lapar. Akhirnya aku
mengajak ponakanku Dava untuk jalan keluar. Rencana awal kita mau ke Monas naik
bis tingkat. Keluar dari rumah, ada Kevin (teman Dava) di depan rumah. Kakakku
menawarkan Kevin untuk ikut ke Monas. Dia langsung masuk ke rumahnya dan
mengganti bajunya yang sebelumnya berantakan. Ia baru saja pulang setelah
menginap di rumah teman sekolahnya di Cengkareng.
Kami berjalan ke halte di depan Taman Kalijodo. Sudah
tidak ada bus di halte. Kami menunggu-nunggu bus yang tak kunjung datang.
Sampai pun adzan isya berkumandang. Kami sholat lebih dahulu. Selesainya
kembali ke halte. Bus tingkat pun tidak nampak sama sekali. Mungkin sudah bukan
jam operasionalnya.
Saya menawarkan dua anak itu untuk ke Mall Season City
saja. Mereka pun menurut. Kami pergi naik G****ar. Hanya sekitar 10 menit saja
karena memang dekat jaraknya. Sampai disana, saya mengajak keponakan tertua,
Nindy (Kakaknya Dava) untuk menyusul. Dia pulang bekerja pun langsung
menyusul.
Saya bersama dua bocil ini berkeliling mall. Ke lantai
atas melihat-lihat ada kuliner apa saja disana. Lalu dua bocil ini mengajak
main time-zone. Tapi saya mengajak mereka makan karena saya merasa lapar.
Setelah bertemu Nindy, kami pun makan di So***ia. Dava
dan Kevin menikmati momen malam minggu itu. Ini pun kali pertama saya
menghabiskan malam minggu bersama mereka di luar.
Saat memesan makanan, Dava memilih makanan yang pernah
ia makan dulu bareng Nindy. Sedangkan Kevin ikut saja apa pilihan Dava. Mereka
memang karib. Pernah dulu, saya ingat sekali saat Kevin selalu membuntut kemana
saja Dava main. Mungkin sejak itu pula lah mereka akrab. Dimana ada Dava,
disitu ada Kevin. Dava pernah mengeluh karena Kevin selalu ada di
sampingnya.
Saya informasikan fisik dua bocah ini. Dava berbadan
gempal, sedang Kevin badannya kurus. Dava berkulit gelap, Kevin berkulit
terang. Seperti kopi dan susu ketika mereka duduk bersampingan. Mereka, teman
juga tetangga karib.
Mereka ibarat kakak beradik lah. Pas naik eskalator,
Kevin memprotes Dava untuk tidak melihat ke bawah nanti bisa jatoh (sisi
luar). Dava tak mau kalah memprotes tingkah laku Kevin. Jadi kakinya
dinaikkan ke atas kursi. Dava memprotes, "kakinya gak sopan. emangnya di
warteg". Lalu saat saya membayar pesanan di meja kasir. Tahu-tahu
mereka membuntuti saya dari belakang. Ada-ada saja dua bocah ini. Memenuhi area
kasir saja pikirku. Apalagi Kevin celamitan memegang mesin EDC, mungkin dia
penasaran.
Ketika makanan datang, Kevin bilang, "nasinya kok
dikit".
Dava langsung menimpali,"itu mah banyak, karena
dicetak aja".
Iya jadi nasinya berbentuk gitu kan ya. Lalu kami pun
berdoa masing-masing. Kevin membaca doa paling kencang. Lalu ketika makan,
mereka menyantap makanan dengan segera. Saya pun memperhatikan dua bocil yang
ada di hadapan saya.
"Hari ini menyenangkan!", seru Kevin sambil
tersenyum.
Kami semua bertanya heran, "emang
kenapa?".
"Iya, soalnya malam ini makan gratis!",
jawabnya.
Sesederhana itu alasanku menuliskan kisah malam minggu
kemarin. Tak lain karena ucapan Kevin yang sedikit indah terdengar.
Singkat cerita, orang tua Kevin itu sudah berpisah.
Dia tinggal bareng kakek-neneknya yang juga sekarang sudah berpisah. Sesekali
ibunya pulang ke rumah untuk melihatnya. Katanya sih ngekos kerja entah dimana.
Sekarang, ayah baru (pacar ibunya) berlaku baik ke Kevin. Suka mengasih uang
jajan. Hidup Kevin di masa kecilnya mungkin agak keras, tanpa adanya dukungan
kasih sayang kedua orang tua.
Hal yang lumrah memang. Sebab aku pun punya ponakan
yang mengalami kisah yang sama. Teriris hati si empati melihat kenyataan
anak-anak broken-home. Sebab saya sangat benci sekali perceraian, ujungnya yang
jadi korban adalah anak-anak yang masa depannya masih panjang. Terlepas apa
masalah orang tua setelah menikah mengikat janji untuk bersama sampai
selamanya, nyatanya, rapuhnya pernikahan siapa yang menyangka.
Ini pula alasan saya masih berserah dan juga masih
mencari orang yang benar-benar tepat untuk mengisi hari-hari saya sampai akhir
nanti. Bukan seperti membeli kacang, tidak main-main, apalagi serampangan. Asal
cocok, nyambung, nyaman lalu menikah. Tidak hanya itu. Tapi ada hal lain yang
harus disamakan, visi, misi, tujuan, dan cita-cita kehidupan yang sama-sama
ingin diraih. Saling mendukung, saling memahami, saling menjaga, saling
mengalah, saling mengisi satu sama lain. Tidak ada yang benar-benar sempurna
memang. Tapi setidaknya kriteria itu harus tetap ada. Sama seperti filosofi
Jawa; bobot, bibit, bebet.
Selesai makan, kami mampir sebentar di P***a**t untuk
kakak-dan iparku di rumah, Lalu saya memesan G**b lagi. Bertemu dengan driver
berkaki palsu. Ia bercerita kakinya diamputasi karena ditabrak lari tahun 90-an
saat tinggal di Sumatera. Sekarang si bapak tinggal di Serpong. Namun ia jarang pulang.
Tidur di sekitaran Taman Grogol. Ngegrab sampai larut malam. Begitu terus sampai malam lagi, katanya.
Di sepanjang jalan, kami banyak mengobrol.
"sudah punya anak berapa mas?",
tanyanya.
"hm belum pak, ini keponakan saya yang di
belakang".
Si bapak terheran, "loh sudah umur berapa
mas".
"25 pak".
"segera lah mas. kan sudah pas waktunya. sudah
ada calon? jangan lama-lama mas. nunggu apa lagi?", katanya.
"iya pak segera, insyaa allah".
"tahun ini mas?", masih belum puas dengan
jawaban.
"belom pak, doakan saja".
Saya pun terdiam. Sudah hampir sampai juga. Teralihkan
dengan pembicaraan lain. Di akhir, si bapak menawarkan pengisian uang elektronik. "Saya baru aja transfer dari mobile banking, terus tidak pegang uang tunai". Si
bapak tetap menawarkan, bayarnya ditransfer saja. Saya pun mengiyakan. Menyelesaikan transaksi dan menunjukkan bukti transfer. Ia memakai kacamata plusnya untuk melihat bukti transaksi di gawai saya.
Sampailah kami di jalan dekat gang tempat tinggal kakakku. Kami turun, lalu berjalan menyusuri gang. Sampai depan
rumah. Kevin melongos langsung masuk ke rumahnya. Kami pun masuk ke rumah Dava. Usai pula cerita tentang malam minggu kemarin. Saya hanya ingin mengenang momen lewat tulisan ini. Sebab otak saya tak lagi mampu mengingat memori jangka panjang. Sekian dan terima kasih.
Semoga banyak pelajaran yang bisa diambil. Kisah rahasia tidak lama lagi akan terbuka satu per satu.
|