Dokumentasi Rumah Zakat
Sebuah cerita harus dituliskan, sebuah cerita ada yang layak untuk dibagikan, dan bila perlu sebuah cerita penting untuk didengarkan. Sebagai bukti manusia pernah berproses dan mencetak memori. Cerita ini memang sudah setahun lalu tertimbun usang di dalam memori perangkat lunak abad 21, lantas sudah setahun ceritanya berlalu, sayang sayang kalau hanya menjadi kenangan pribadi beserta orang-orang yang terlibat di dalamnya. Inilah ceritaku ketika pernah menjadi volunteer Rumah Zakat di bulan Ramadhan 1438 H. Rindu rasanya kala itu.
Kereta
Serayu berangkat pukul 21.00 dari Stasiun Pasar Senen menuju Purwakarta. Dalam
perjalanan selama satu setengah jam, akhirnya aku tiba di Stasiun Purwakarta
lalu melanjutkan naik ojek menuju meeting
point di Taman Makam Pahlawan yang jaraknya tidak jauh dari stasiun.
Bapak
ojek yang mengantarakanku sempat bingung ketika aku meminta diturunkan di depan
makam. Mungkin beliau heran dengan apa yang akan aku lakukan disana. Akhirnya
aku berhenti di depan warung tidak jauh dari makam. Tidak lama kemudian bertemu
dengan Mas Taufik, Kak Vita dan Kak Suci yang sudah lebih dahulu berkumpul di
perempatan dekat situ. Akhirnya kami berkumpul menunggu rombongan dari Bandung
yang sudah hampir tiba. Selagi menunggu, kami ngobrol ngalor-ngidul tentang
kegiatan sosial yang pernah dilakukan masing-masing. Ternyata mereka mempunyai
pengalaman hebat. Ada yang sering mengikuti kegiatan sosial sejenis, ada yang
habis pulang dari Papua, dan obrolan entah sampai kemana saja.
Tidak
lama, truk TNI yang mengangkut rombongan utama lewat. Kami pun meneriaki
mereka. Lalu ikut bergabung untuk menuju desa yang akan kami tuju. Di truk itu,
aku berkenalan dengan Bang Ari, panitia dari Rumah Zakat. Kami berbincang
mengenai organisasi ini yang sudah established
mempunyai cabang hampir di penjuru Indonesia, tentang kegiatan rutin dan banyak
hal lainnya.
Selepas
jalan raya, kami sampai di tempat entah daerah apa namanya. Jelasnya, kami berada
di pemukiman penduduk dengan tower SUTET berdiri. Setelah briefing sejenak,
kami berjalan kaki selama 10 menit, lalu melanjutkan dengan menaiki mobil double cabin dengan bolak-balik dua kali
penjemputan. Di atas mobil itu, kami tergoncang ke kanan dan kiri dalam keadaan
gelap. Mobil melewati jalanan tanah yang becek, licin, dan berkelok. Di
pinggiran jalan, hanya pohon-pohon yang membatasi. Sekitar 15 menit, kami
sampai di titik terakhir akses yang dapat dijangkau kendaraan. Lalu masih
berjalan lagi, terdengar arahan dari panitia.
Melewati
jalanan gundukan sawah, seperti diantara tanah yang lapang. Tidak jauh, ada
aliran sungai dengan jembatan kayu dan bambu yang berukuran hampir satu meter
lebarnya. Kemudian melalui areal persawahan. Berjalan jauh ke depan. Aku merasa
semangat untuk segera sampai. Kontur jalan sedikit menanjak, lalu melewati
jembatan kayu yang kecil. Semakin menanjak, tibalah kami di rumah Abah Karim.
Kami
disambut oleh keluarga beliau dengan sajian kue dan bajigur. Sejenis minuman
hangat dengan citarasa manis gula aren berwarna kecoklatan. Tidak terasa,
berjalan sekitar satu jam dalam keteduhan malam membuat rasa gerah. Ku lirik
jamku, sudah pukul satu lewat.
Di
depan rumah abah, aku sama sekali tidak melihat tanda-tanda pemukiman disana
dikarenakan tidak adanya lampu-lampu yang menerangi. Sorotan senter dan flash
kamera hanya membuat sedikit pencahayaan. Ternyata rumah-rumah warga jaraknya
ke arah belakang dan jarang-jarang.
Peserta
laki-laki berjumlah enam orang. Mereka adalah Mas Taufik, Mas Chandra, Mas
Zain, Ashari, Fajar dan Rizki. Kami beristirahat di satu rumah panggung
sederhana yang terbuat dari bambu. Tanpa penerangan listrik. Tidak ada kamar
mandi. Tidak ada televisi apalagi kipas angin. Rumah itu terdiri dari ruangan
yang tersambung satu sama lain. Sangat sederhana.
Aku
langsung memakai sleeping bag yang ku
bawa. Udara disana tidaklah dingin. Justru aku merasakan panas berada di dalam
kantong tidur itu. Hanya saja untuk
menghindari nyamuk-nyamuk ciptaan Tuhan. Tepat di bawah kami tidur adalah
kandang ayam yang sesekali suaranya terdengar jelas entah itu dengkuran atau
apapun.
Pukul
setengah empat kami sahur bersama lalu sholat subuh berjamaah. Fajar tiba, aku melanjutkan
rebahan di teras luar. Matahari pun mulai merona di ufuk timur. Aku bangun,
menuju ke sawah lalu memotret momen itu. Pagi yang sepi. Tidak ada suara bising
kendaraan. Tidak ada suara ibu-ibu yang berkumpul ketika tukang sayur lewat. Yang
ada hanya kicauan burung, udara segar, dan rasa ketenangan. Beginilah kehidupan
orang-orang desa, hidup dalam kesederhanaan namun mereka merasakan hidup yang
tentram dan damai.
Kegiatan Rona Nusantara
Aktivitas
hari pertama yang kami lakukan terbagi dalam dua kelompok. Tim ikhwan menjemput
dan membawa material bangunan untuk mendirikan MCK dari titik terakhir akses
kendaraan. Sementara tim akhwat membungkus bingkisan sekolah, parsel lebaran
warga dan hadiah untuk kegiatan anak-anak.
Tim
ikhwan semakin akrab satu sama lain. Kayu, pipa paralon, dinding dan atap asbes
adalah sebagian material yang akan kami angkut. Satu bawaan dipikul oleh dua
orang. Pertama membawa kayu. Baru lima menit berjalan, balok kayu itu menusuk
pundak-pundak kami. Bergantian aku menumpuhkan kayu ke pundak satunya untuk
melepaskan rasa pegal. Kapan lagi aku bisa berbuat seperti ini. Menjadi kuli
angkut yang menggunakan kekuatan fisik untuk mengangkat dan memikul material.
Sungguh perkejaan yang sangat sulit. Satu pelajaran yang aku dapatkan untuk
terus mensyukuri apa yang aku miliki sekarang, yaitu tentang pekerjaan.
Ada
satu hal yang membuat kami terheran, beberapa orang warga termasuk Abah yang
ikut membantu kami. Mereka dengan gampangnya membawa material-material itu
seorang diri. Pada angkutan yang kedua, aku membawa tumpukan pipa paralon yang
lebih ringan kuantitasnya. Ketika membawa ini aku merasa lebih nyaman kerena
bentuknya yang bulat sehingga tidak membuat rasa sakit di pundak. Selepas itu,
kami beristirahat sejenak. Merasakan lelah setelah berjalan membawa sebagian
material-material itu. Sungguh lemah sekali diri ini sebagai mahluk ciptaan Tuhan.
Alhamdulillah Tuhan memudahkan urusan kami hari itu, meskipun dalam kondisi
berpuasa.
Menjelang
tengah hari, tim akhwat memulai aktivitas mendongeng dan mewarnai kepada
anak-anak di dalam masjid. Sementara itu, kami menunggu material lainnya
seperti pasir dan semen yang belum sampai sehingga mengulur waktu pembangunan
MCK. Duduk santai di sisi masjid sambil mendengarkan cerita dongeng yang
dibawakan. Kisahnya berisikan tentang keserakahan seorang anak ketika melahap
makanan. Pesan yang disampaikan kepada anak-anak antara lain untuk menjaga
kesehatan dengan mencuci tangan sebelum dan sesudah makan, tidak makan secara
berlebihan, dan senantiasa selalu bersyukur atas nikmat Allah swt.
Menjelang
sore, kami menjemput bahan-bahan makanan yang dibeli panitia dari pusat kota.
Sayur mayur, daging ayam, tepung, minyak, kurma, buah-buahan dan sebagainya. Selagi
ibu-ibu memasak, kami membantu menyiapkan makanan yang sudah siap disajikan ke
dalam kotak nasi untuk santapan kami berbuka bersama warga. Bahan-bahan mentah
tadi berubah menjadi ayam semur, tumis buncis dan wortel, sambal dan es buah.
Kumandang
azan maghrib terdengar. Kami berada di tengah-tengah keramaian warga yang mengelilingi.
Hadir pula perangkat desa datang menghadiri acara itu. Selepas meminum es buah
yang menyegarkan tenggorokan dan memakan kurma, kami bergegas sholat maghrib
berjama’ah. Kemudian makan besar bersama-sama.
Sehabis
sholat isya dan tarawih, barulah kami masuk ke acara bioskop desa. Sebelumnya
terdapat sambutan dari pihak perangkat desa, warga, dan juga panitia. Film yang
diputar malam itu adalah Sopo Jarwo, kartun asli anak bangsa yang bercerita
tentang kehidupan Adit sebagai pemeran utama. Kartun ini mempunyai unsur cerita
yang menarik. Anak-anak sangat serius menatap lcd monitor. Dalam kegiatan ini,
diselingi pula pembagian hadiah untuk anak-anak yang berani menjawab pertanyaan
dari panitia.
Minggu Pagi di Karapyak
Pendirian
MCK yang dimulai kemarin sore sudah menampakkan pondasinya. Pagi itu, kami ikut
membantu sedikit hingga menambah progress berdirinya tiang-tiang kayu yang akan
menopang bangunan itu. Dikomando oleh seorang bapak tua, dari rambutnya yang
memutih, beliau tampak berpengalaman dalam bidang bangunan. Bapak-bapak lainnya
ikut membantu bekerja sama mendirikan fasilitas yang akan menambah kualitas
kehidupan mereka kelak.
Peserta
Relawan Rona Nusantara berkumpul di dekat tanah yang agak lapang. Tidak lama
lagi kami akan meninggalkan desa ini. Acara pembagian parsel lebaran dan
bantuan Al-Qur’an untuk ibu-ibu pengajian sudah diberikan. Kami mengabadikan
momen bersama. Keterbatasan waktu membuat kami tidak mengikuti proses
pembangunan MCK sampai selesai. Tidak lama, kami berkemas barang bawaan dan
berpamitan kepada para warga. Berterimakasih atas ramah-tamah telah menjamu
kami dengan penuh suka cita.
Kehidupan Sederhana di Kampung
Karapyak
Mereka pasti senang
ketika hujan tiba, karena pasokan air akan melimpah. Begitu juga mereka pasti
senang ketika matahari cerah, karena panel surya akan bisa menyala di saat
malam hari.
Kami
bercerita kepada seorang warga sekitar. Pemukiman di Kampung Karapyak dimulai
1998. Mereka hijrah dari Cianjur, lalu menggarap pertanian yang ada di lokasi
sekarang. Banyak pabrik-pabrik di sekitar. Ada industri bahan baku tekstil,
kapas dan mineral tambang. Ternyata pula, lahan pertanian yang ada milik
perusahaan, aset ternak juga milik perusahaan, dimana mereka sebagai penggarap
menganut sistem bagi hasil.
Letak
kampung ini seperti di tanah antah-berantah. Dalam kacamataku, masyarakatnya
seperti hidup terisolir, jauh dari akses dan fasilitas yang memadai. Aku merasa
iba mereka jauh dari pusat ekonomi, dari akses kesehatan yang layak, dan dari
fasilitas yang menunjang kehidupan yang semestinya. Aku bersimpati dengan
anak-anak yang harus menuju sekolah berjalan kaki sejauh entah berapa
kilometer. Berangkat selepas subuh untuk mendapatkan akses pendidikan. Melewati
jalanan sepi milik perusahaan, yang tanahnya di saat musim hujan akan sangat becek
sekali. Perjuangan mereka insya allah akan berhasil.
Disana
aku tidak mandi, hanya membasuh muka dengan air sumur yang menurutku juga keruh.
Aku menimba air menggunakan ember untuk berwudhu. Sekali menggunakan kakus/wc terbuka
untuk buang air. Aku bersama teman-teman pergi ke sungai, berharap mendapatkan
air yang jernih lagi bersih. Nyatanya air sungai sedang kering. Tampak keruh
berwarna kecoklatan mengalir tenang. Rupanya kontur tanah disana memang berwana
merah sehingga memproyeksikan warna air terlihat keruh.
Aku
sempat berjalan mengitari sekitaran lingkungan mereka. Ada lahan sawah yang
cukup lapang untuk mereka bertani. Ada tanaman singkong dan banyak semak
belukar. Ada pula lahan dengan kandang domba dan kerbau. Di dekat lahan itu,
ada area lapang yang kosong. Luas berantakan seperti bekas dikeruk alat berat. Benar,
ada alat berat berada di kejauahan.
Disana
ikatan masyarakatnya masih guyub. Hidup rukun, saling gotong-royong, dan
mengutamakan kebersamaan. Masyarakat hidup sederhana, namun tetap merasakan
bahagia. Anak-anak bermain petak umpet, bermain bola di tanah lapang, tidak
menggenggam smartphone, tidak menonton televisi dan ada pula yang menggembala
domba membantu orang tua meraka. Justru nilai-nilai kehidupan itu banyak aku
temukan disana.
Dua
hari merasakan kehidupan disana, banyak pelajaran yang aku dapatkan tentang
kesederhanaan dan rasa bersyukur dengan apapun yang kita punya. Mereka
mengajarkan kita untuk terus membuka mata melihat keadaan sekitar, membuka hati
nurani untuk berbuat kebaikan, dan berbagi atas harta yang kita miliki. Sebab
Allah pun berfirman kepada kita, “Dan
Kami akan menambah (karunia) bagi orang-orang yang berbuat kebaikan.”
QS.Al-Baqarah : 58
0 komentar:
Posting Komentar