Oktober 21, 2016

Pesona Jateng - Dolan ke Curug Gomblang dan Curug Lima


Negara kita hampir sampai dimana kaum muda mulai sadar dengan potensi alam (hutan, sungai, air terjun, bukit, danau, laut, pantai, goa, muara, sawah, bekas galian pertambangan, dll) untuk dikembangkan sebagai objek wisata oleh kelompok sadar wisata (pokdarwis) dan kemudian ditelusuri oleh kaum muda pula. Tiap daerah berlomba-lomba mengeksplore tiap potensi dan menghias diri agar mampu menarik minat hati para penikmat jalan-jalan. Hampir setiap hari di media sosial, terdapat tempat baru yang diekpose sebagai destinasi wisata baru. Kekuatan informasi di media sosial mampu mendatangkan ketertarikan kaum muda yang ingin terus menunjukkan eksistensinya. Begitu pun aku, bersama temanku adalah user aktif media sosial, dengan cepat mengetahui informasi dan sangat ingin untuk mengunjungi satu curug di kaki Gunung Slamet.

Curug itu terletak kedalam Kawasan Perhutani di Desa Baseh, Kecamatan Kedungbanteng, Banyumas, Jawa Tengah. Dari pusat kota Purwokerto, menjangkaunya antara melalui Desa Kalisalak atau Desa Windujaya. Membutuhkan waktu hampir setengah jam lebih untuk sampai. Kala itu, setibanya kami melewati Desa Kalisalak, suguhan terasering padi yang sedang menguning menjadi pemandangan pertama. Kaya sekali alam Indonesia ini. Teras-teras persawahan nampak indah. Dibatasi dengan bukit hijau nun jauh disana. Itulah alasan kami, untuk berhenti sebentar mengambil gambar landscape dan momen.

Liat-liat yang ijo-ijo  kuning biar mata seger

Sawahnya lagi menguning banget Pengen rasanya nyiramin pake lumeran coklat.
Pertigaan terakhir, baik dari Desa Kalisalak ataupun Windujaya
Lanjut kemudian melewati jalanan berbatu yang sedang di mix ulang. Menanjak menurun, berbelok-belok. Tak lama, kami pun sampai di pintu gerbang. Cukup dengan membayar Rp 5.000/orang. Dikembangkan oleh Perum Perhutani KPH Banyumas Timur bersama Madyo Laras Desa Kalisalak dan Wana Lestari Desa Baseh. Kawasan ini mempunyai area camping ground, wisata alam hutan damar, dan curug-curug. Memasuki hutan tropis dengan beragam jenis tumbuhan. Jalanan bertanah, dengan batu-batu kecil. Jaraknya hampir 1,5 kilometer untuk mencapai area parkiran. Ada satu warung kecil yang buka disana beratapkan plastik daur ulang dan sedikit daun-daunan.

Satu-satunya warung disana
Langsung saya bertanya, “mas, ke arah mana air terjunnya?”.
“kesana (menunjukkan arahnya). Disana nanti ada selfie decknya, air terjunnya masih ke bawah lagi”, jawab tukang parkirnya.
“oya mas, katanya ada curug lima juga ya, jalannya sama gak?”.
“beda mas, kalau ke curug lima itu ke atas lagi. Arahnya kesana jalan yang kecil itu (menunjukkan telunjuknya lagi)”.
“bisa mandi-mandi gak mas?”
“bisa renang? Kalau di Curug Gomblang sih lumayan deres airnya, paling di pinggirnya”.
“kalau Curug Lima sama juga mas?”.
“disana lebih pendek, bisa kalau mandi di bawah air terjunnya. Cuma hati-hati aja soalnya lagi musim hujan, ini aja mendung kan. Kita gak tahu kalau di atas hujan apa gak”.
“oh gitu, oke deh, mari mas”.

Kami menuju selfie deck. Terdengar makin keras suara gemuruh air yang jatuh. Nah, Pesona Jateng yang satu ini dipercantik dengan adanya selfie deck untuk berfoto berlatarkan Curug Gomblang yang jatuh di hamparan pepohonan hijau, bersama lembah sungai meliuk di bawahnya. 

Jadi selfie deck itu masih berada di atas banget. Semacam kayu-kayu yang disusun untuk duduk bahkan bisa untuk tiduran. Asal jangan tidur lalu guling-guling saja, bisa jatuh nanti. Lebih tepatnya sih berfungsi sebagai area untuk menikmati pemandangan, mengambil gambar atau berfoto selfie. Dan ketika pengunjung ramai, itu akan bergantian satu sama lain. Layaknya sebuah magnet. Orang-orang pasti akan langsung mendekatinya langsung sebelum turun ke curugnya. Mengambil foto yang epic lalu selesai. Jangan sepele pula, tempat itu ada penunggunya loh. Maksudnya mas-mas yang bertugas untuk memberi tahu pengunjung ketika naik kesitu harus membuka alas kaki, supaya tetap bersih, terawat dan terjaga. Bagus bukan?

Nah loh. Pemandangannya begitu.


Selfie terosssss

Wefie sama konco-koncoku
Rombongan dari Purwokerto
Saat itu kami langsung kembali ke atas untuk menuju Curug Lima. Jalanan melewati hutan, naik turun, lalu menyebrangi sungai dengan menginjak batu-batu. Saya berdoa agar tidak turun hujan. 
Nyebrang sungai lewati lembah untuk ke Curug Lima


Jalanannya sepi, jarang pengunjung. Kami berjalan terus hampir setengah jam, belum juga sampai, meskipun sudah sering mendengar suara aliran sungai. Jalanan yang kami telusuri mengikuti ke arah hulu. Di perjalanan, ada tempat duduk dari bambu untuk beristirahat. Kami tidak menyerah, sampailah di bagian atas curug tersebut. Aliran sungai yang terpisah-pisah oleh batuan. Debit yang sangat banyak jatuh ke bawah membentuk percikan air kemana-mana ke segala arah. Bebas.
Dari atas curug
Paras curug lima baru akan terlihat ketika dari bawah. Untuk kesana, harus menyebrangi sisi atasnya lalu ada tangga kecil terbuat dari bambu dan kayu untuk menjangkaunya. Batuan cadas pegunungan di aliran sungai tersebut tersusun acak. Rasanya ingin sekali menceburkan diri ke air. Sayang, langit di atas dihiasi awan putih sedikit mendung (ini alesan doang). Cahaya matahari menembus dengan susahnya. Kontur air terjunnya pun tidak rata, jatuh lagi dan berbelok seperti ke dalam jurang kecil. Disana kami cukup berfoto-foto, duduk menikmati jajanan, ditemani suara air yang mengalir deras sambil merenungi kebesaran Tuhan atas penciptaan-Nya yang luar biasa.

Difoto dari seberang atas curug
Ini loh Curug Lima (buktikan kesana aja, hitung sendiri ada 5 apa gak :))

Kembali pulang
Lalu kami pulang. Di jalan pulang, barulah kami bertemu beberapa pengunjung yang hendak mengunjungi Curug Lima, bahkan ada keluarga yang membawa anak kecil. Mereka berjalan dengan penuh semangat. Dalam hati mereka mungkin berkata, “kok tidak sampai-sampai ya”. Hehehehe.

Dari Curug Gomblang saya menilai, objek wisata harus dibangun secara inovatif. Punya ciri khas yang melekat untuk dapat diingat pengunjung ketika pulang. Ciri khas Curug Gomblang adalah selfie deck-nya yang mampu memberikan kesan tentang Gomblang meski dipandang dari kejauhan. Tanpa sampai ke bawah pun saya sudah terkesan. Selain itu, fasilitas menjadi hal yang utama untuk menunjang kualitas. Pengunjung akan senang bila tempat wisata dilengkapi dengan fasilitas jalan yang layak, toilet, tempat ibadah, gazebo untuk beristirahat, penunjuk arah dan penjual makanan. Dengan kualitas, pengunjung akan mendapatkan kenyamanan dan keamanan.

Curug Gomblang
Semoga pariwisata Indonesia khususnya Jateng semakin maju. Untuk mencapai kunjungan turis asing 20 juta orang pada 2019. Salam Pariwisata.

Tulisan ini diikutsertakan dalam Loma Blog Visit Jawa Tengah 2016 yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Tengah @VisitJawaTengah (www.twitter.com/visitjawatengah)



Share:

Oktober 01, 2016

Wisata dan Reunian : Tebing Keraton

Reunian masih berlanjut. Lokasi tujuan hari kedua sudah lama masuk dalam list destinasi gue. Letaknya tidak jauh dari dorm yang kami tinggali. Namanya Tebing Keraton. Mungkin destinasi ini sudah banyak yang tahu ya. Letaknya sendiri berada di Taman Hutan Raya Ir. Juanda. Menuju kesana, jalanan menanjak perbukitan melewati banyak antara rumah entah juga villa agak elit di sisi pinggiran jalannya. 

Sampai di parkiran kendaraan. Masyarakat sekitar sana, sudah mengatur lokasi wisata ini bagi wisatawan dengan tujuan menambah nilai ekonomis masyarakat sekitar, yaitu menawarkan jasa angkutan sepeda motor dari lokasi parkiran ke tebing keraton berada yang jaraknya +/- 3 km. 

Kami saat itu memilih berjalan kaki saja, meski ditawarin berkali-kali oleh jasa ojek disana. Menikmati matahari pagi, beserta sejuknya udara pagi, kami berjalan dengan semangatnya.


Jalan-jalan pagi.
Awalnya kami berencana untuk spotting sunrise , eh kami berangkat kurang pagi sedikit. Alhasil kami mendapat suguhan matahari ketika berjalan kaki. Masih oke lah. Pemandangan hijau sekitarnya sangat enak dipandang oleh mata.

Sunrise di ufuk timur
Latar pemandangan di sisi barat
Ini harga tiket masuknya. Semoga bermanfaat.
Di bawah sana banyak pohon-pohon yang menghasilkan oksigen yang kita hirup. Semoga tetap lestari sampai akhir nanti.
Itu gunung apa ya? Ada yang tahu? Ini diambil dari lantai dua spotting area
Heni dan Ito

Its my mate
Dulunya sih tempat ini dikenal dengan Cadas Jontor (batuan cadas yang menonjol ke depan dan ketinggian yang berbeda). Sementara arti dari penamaan Tebing Keraton sendiri adalah kemewahan, kemegahan, keindahan alam yang bisa dinikmati di atas tebing. 

Menurut saya Tebing Keraton memang menarik. Hijau, sejuk, cadas, dan cantik.
Thats why in on my list, and i was visited there with my mate in junior high school for reunion.

Mampir ke depan Gedung Sate

Mampir di Cafe entah apa namanya, lupa.

Terima kasih kawan. Kalian luar biasa. Semoga kita dipertemukan di lain waktu dan kesempatan.
Terima kasih Tuhan Semesta Alam atas waktu, kesempatan, kenikmatan atas kehidupan yang sementara ini. Engkau ciptakan dunia ini dengan sangat indah. Catatan waktu dengan orang-orang di sekitar yang kau berikan sangat berharga bagi diri hamba. Sudah sepatutnya hamba untuk tak lupa untuk selalu mengucap segala puji bagimu Tuhan (Alhamdulillah).
Share:

Wisata dan Reunian : Farm House

Farmhouse Lembang
Reunian adalah nostalgia zaman bahola bersama orang-orang masa lampau. Banyak memori terdahulu yang sering dibahas di saat reunian. Memori konyol, aneh, lucu, penting, ataupun tidak penting yang jauh dari kehidupan saat ini, namun dengan cerita-cerita yang dibangkitkan menyimpan arti dan makna bahwa kita sejatinya sebagai manusia (hamba Allah) selalu berproses dan dinamis. Bahkan dengan otak kita lah yang mampu merekam ingatan-ingatan tentang apa yang pernah kita alami. Sungguh luar biasa bukan otak kita. Siapa dulu yang mencipta-Nya?

Reunian kali ini, gue bareng temen-temen SMP semasa di Padangsidimpuan. Mereka adalah Arman, Burhan, Ishak, Purnama. Ito, dan Heni. Mereka sekarang berdomisili di sekitaran Jabodetabek. Rencana liburan sudah setahun lalu kami agendakan untuk reunion in vacation. Rencana awal, kami hendak mengunjungi Pulau Seribu. Namun, pilihan kami berubah memilih Bandung sebagai tempat pelarian.

Meeting point di Kota Tua Jakarta, pukul 11.00 malam. Akhirnya kami berkumpul setelah kejadian tunggu-menunggu satu sama lain, sampai mengantar pemilik mobil ke rumahnya di Cibubur, dan menjemput Burhan ke Bogor. 

Si Burhan, hampir saja dia tidak ikut karena alesan pekerjaan. Setelah dibujuk dan dijemput, dia pun mau ikut dengan kami dengan menolak rasoki untuk esok harinya karena dia tidak libur seharusnya (red:rezeki). Yey.

Perjalanan kami bisa dibilang nekat. Sebab diantara kami, hanya Ishak dan Burhan yang bisa nyetir mobil dan mereka pun tidak memiliki SIM A. Kami hanya berdoa agar diberi kelancaran dan keselamatan. Perjalanan dimulai dari Tol Bogor menuju Cikampek. Memasuki gerbang tol, Ishak membuat kami ikutan merasa bingung karena tidak punya kartu tol. Kami berhenti di pintu tol gate agak lama. Beruntungnya malam itu sudah sepi. Dia berbalik mundur, memilih gerbang tol lainnya. Untung malam itu sepi, jadi tidak dilihat orang lain. Gue pun teringat, kalau itu tinggal dipencet doang buat dapetin kartunya. Yaelah hahaha. Memanglah kami orang kampung ini hehehe.

Perjalanan di malam itu penuh percakapan antara masa sekarang dan masa lalu. Semobil bareng orang-orang yang bicara pake logat batak Mandailing. Akhirnya bukan cuma wacana. Pagi subuh, kami sudah tiba di Tol Cipularang.

***
Kami tiba di Farmhouse pukul 11.00-an siang. Lokasi wisata yang berada di Lembang ini sangat ramai dikunjungi. Destinasi wisatanya sendiri dibuka belum lama, jadi lagi happening-nya banget. Konsep wisata eco-tourism yang cukup menarik dengan menyajikan tema Belanda. Oke deh, berikut foto-foto kami disana.

 
Ada air terjun mini di dekat penukaran susu
Lagi antri ambil susu
Rame kan? Ada yang bawa payung unyu-unyu.
Man Squad
Nih. Ada rumah-rumahan The Hobbit.

Salah satu bangunan disana. Unik kan? Ada botol kacanya
Ishak, Ito, Purnama, Heni, Arman, Burhan

Satu lagi bangunan unik eksterior susunan batuan gitu 

Ramenya kaya pasar.

Latar sumur dengan air mancur
Salah satu sudut farmhouse
Kebun bunga belakang rumah, eh.

Resto & Cafe Farmhouse
Ya. Foto-foto di atas adalah bagian dari perjalanan yang kami lalui di hari pertama. Flashback sebelum kami tiba disana, ketika di perjalanan kami yang membahagiakan hari itu, hampir saja ditilang polisi yang mengatur lalin (mobil diberhentikan dan Ishak jalan mengabaikan). Beruntungnya Tuhan masih meloloskan kami dari polisi tersebut. Terima kasih Tuhan sudah menyusun ceritera yang indah buat kami. Alhamdulillah. 
Share:

Maret 17, 2016

R.U.M.A.H

Rindu. Aku rindu pada rumah.

Dulu gue pernah berpikir untuk tetep stay di rumah bersama kedua orang tua tercinta agar bisa tahu segala kondisi dan keadaan orang tua gue. Namun sebelum gue wisuda, tekad untuk hijrah (red:merantau) ke kota lain sangat kuat. Ego mengalahkan apapun. Gue pun tersadar, fase yang kakak-abang lebih dulu alami bakal datang juga ke kehidupan gue saat ini. 

Merantau bukanlah pilihan yang mengenakkan (baru terasa). Banyak hal yang berbeda dari kehidupan di rumah saat tinggal dan berkumpul bersama orang tua. 

Pernah ketika itu, orang tua meminta agar saya kembali ke rumah dan bekerja di sekitar tempat tinggal disana. Namun, kekuatan hati dan egoisme diri untuk mendapatkan keberhasilan di luar rumah (perantauan) begitu over ekspektasi. Merasa bosan berada di lingkungan yang sama memicu hati untuk mencari dan menemukan pengganti suasana dan kehidupan yang baru lainnya.

Baru terasa. Sekarang saya merindukan rumah. Keluarga. Kegiatan yang rutin saya lakukan di rumah. Rumah dimana zona nyaman saya senyaman-nyamannya. Tanpa banyak tekanan dan juga perjuangan.

Saya rindu rumah. Tempat dimana saya bisa berekspresi sebebas-bebasnya. Tempat dimana saya menghabiskan waktu bersama mereka orang-orang tercinta.
Share:

Lakon Kehidupan


Kehidupan selalu berbeda. Ibarat bersekolah, seperti naik kelas. Beban dan tanggung jawab semakin bertambah. Tinggal bagaimana kita melakukan untuk mampu menyelesaikan setiap fase yang berbeda.

Merasakan perbedaan kadang sulit (membutuhkan penyesuaian). Terlebih di luar zona nyaman, kadang pula mengalami kebingungan akan tujuan nantinya. Sebab akal dan pikiran terbatas untuk menjangkaunya. Hanya dapat berpegang pada waktu dan kesempatan meneruskan antara pilihan dan takdir-Nya menuju jalan yang tak berujung namun sudah direncanakan dan pasti akan sampai.


Share:

Februari 18, 2016

Hutan Mangrove Jakarta, Oke Juga !!

Gak jauh dari pusat Ibukota, Jakarta menyimpan pesona hutan mangrove yang berada di Muara Angke, Pluit, Jakarta Utara. Disana kita bisa menikmati udara segar, mengelilingi habitat pohon bakau, dan menaiki menara pandang untuk menyaksikan view dari ketinggian. Satu hal yang wajib kita sediakan yaitu lotion anti nyamuk sebab keberadaan hewan tersebut cukup banyak berkeliaran disana. Salahnya lagi, ketika itu gue pake baju berwarna gelap yang sangat mengundang para nyamuk dengan senang hati dan sesuka mereka untuk mengerumuni badan gue.

Untuk menuju kesana, transportasi umum sudah tersedia seperti transjakarta maupun feeder yang sekarang sudah melayani trek Monas - PIK. Kalian bisa turun di Sekolah Yayasan Buddha Tzu Chi. Dari sekolah tersebut, jarak menuju hutan mangrove sekitar beberapa ratus meter, Tarif masuk ke dalam kawasan hutan mangrove cukup Rp 15.000 saja. 

Menurut gue, tempat ini cukup apik dan recomend untuk didatangi bareng orang-orang terdekat kita, Bukan hanya soal destinasinya tapi juga soal momennya bersama siapa. Bagusnya suatu destinasi pun bukanlah suatu yang mutlak, namun relatif dari persepsi masing-masing diri kita. Berikut gue sajikan beberapa foto-foto gue selama menghabiskan momen disana. Happy enjoy dan semoga bisa menjadi referensi wisata yang bakalan kalian kunjungi. 


Sekolah Tzu Chi, Patokan untuk menuju ke Hutan Mangrove.
Di atas sana jalur lalu lintas udara. Spot pesawat cukup oke juga.
Selfie terus, kebetulan ada boat lewat.
Jalan setapak di atas perairan mangrove


Banyak penginapan disini

Di antara pohon-pohon bakau

Dari atas menara pandang

Dari atas menara pandang

A stranger in his journey

Naik perahu menyusuri mangrove. Seru !

Jalan ke arah pantai

Jembatan gantung

Wefie

I dont know what's the function of this place, Maybe a meeting place?

In front of the cottage.
Share:

Instagram