Indonesia
memang tidak ada habisnya kalau berbicara tentang warisan budaya. Budaya yang
terkenal hingga ke mata dunia mungkin baru hanya beberapa. Nyatanya teramat
banyak seni budaya leluhur dari tiap daerah yang masih terjaga kelestariannya
sampai sekarang. Meski sayang hanya sedikit saja dari generasi penerusnya yang
turut menjaga dengan mempelajari tradisi-tradisi tersebut agar tetap eksis
disandingkan dengan pergesaran majunya zaman di era globalisasi dengan
senjatanya yang disebut teknologi.
Kesematan
Famtrip Blogger dan Media yang diselenggarakan Dinas Pariwisata Kabupaten
Banjarnegara sebulan yang lalu. Kami berkunjung ke beberapa desa di mana disana
terdapat warisan budaya yang utuh dijaga oleh masyarakatnya.
Kunjungan
pertama menuju ke sentra pembuatan batik tradisional. Batik Gumelem dikenalnya. Gumelem sendiri merupakan
nama desa yang masuk ke area Kecamatan Susukan, Banjarnegara. Ada
dua jenis motif Batik Gumelem, yaitu tradisional dan kontemporer. Yang
kontemporer mengikuti perkembangan zaman, seperti contohnya motif gambar kuil
jepang. Sedangkan motif tradisional
lebih menggambarkan
budaya atau kedaerahan tentang
Indonesia, seperti ikan, bunga, bambu dan lain-lain. Ciri khas Gatik Gumelem aslinya bermotif udan liris dan rujak senthe. Untuk warnanya cenderung gelap
seperti coklat,
hitam, kuning dengan karakter bunga-bunga. Dalam perkembangannya muncul pula motif lain seperti semen klewer, dawet uket, parang
kembang, sekar bumi, dan kopi banjar. Pada zaman baheula, seni batik disana mendapat pengaruh
dari Keratonan Surakarta.
Harga
sehelai kain batik tulis Gumelem berkisar antara
150k - 300k. Harga yang cukup murah sekali bukan. Harga tersebut pula masih
boleh ditawar. Sungguh disayangkan, pemasaran batik ini
masih terbatas penjualan di sekitar Banjarnegara dan marketing word of mouth (promosi dari mulut
ke mulut). Kebanyakan pembelinya adalah
mereka yang interest seni batik. Sehingga pasarnya masih cukup terbatas. Padahal menurut
saya, kualitas Batik Gumelen tidak kalah
dengan batik-batik lainnya yang sudah terkenal seperti Batik Pekalongan, Lasem, ataupun lainnya.
Menjelang
siang, kami diajak
mampir ke SMP N 2 Susukan. Disana untuk melihat para siswanya praktek membatik yang termasuk
dalam pelajaran muatan lokal di beberapa
sekolah di Banjarnegara. Sangat bagus sekali bukan. Budaya membatik yang
memang harus dipelajari
oleh generasi mudanya. Berharap sekali
generasi muda Indonesia dapat mencintai budaya kedaerahan dari hal yang
diajarkan seperti ini.
Beberapa
siswa sedang praktek mencanting dengan menggunakan melem. Kemudian ada yang
mewaranai kain dasarnya. Ada yang menggambar motif di kelas sebelum digambarkan
ke kain batik setengah jadinya. Ternyata
proses membatik tulis sangat rumit
sekali. Bisa-bisa pengerjaannya memakan waktu lebih dari seminggu. Memang
sekarang membatik bisa menggunakan teknologi seperti cap (press). Tetapi batik
tulis itu rasa seninya berbeda.
Intuisi seninya dapet lah bisa
dibilang. Berbeda kalo dicap dengan motif yang terlihat biasa saja. Maka itu, membatik sudah
sepantasnya harus dijaga dan diletarikan. Saya saja pengen belajar mbatik
tulis. Masa iya generasi muda Indonesia gak bisa mbatik, kan payah. Padahal
batik sudah diakui UNESCO sebagai warisan dunia dari Indonesia. Maka itu, yuk
bangga dan mulai belajar membatik.
Praktek membuat motif yang selanjutnya digambarkan ke kain batik |
Gumbeng Alat Musik Penolak Bala
Sore harinya,
ada lagi satu tentang
budaya Indonesia dari Desa Pagak, Kecamatan Susukan,
Banjarnegara. Jujur saja, aku baru tahu pertama kali
ketika mengikuti famtrip kemarin. Namanya Gumbeng. Ada yang tahu gak? Jadi
Gumbeng adalah alat musik
tradisional masyarakat Desa Pagak yang terbuat dari bambu. Alat musik ini
hampir sama seperti calung, tetapi ada bagian kulit bambunya yang disayat lalu dikaitkan bagian tertentu. Seperti
senar untuk dapat menghasilkan suara ketika dipukul dengan sebilah bambu jua.
Sangat unik sekali bukan? Indonesia memang kaya warisan budayanya ya. Makin
bangga deh jadi Indonesia. Saya Indonesia. Saya Pancasila.
Jenis
gumbeng itu ada dua macam yaitu gumbeng dan lindu
(sepitan). Bahan baku utamanya adalah
bambu wuluh dan bambu petung. Pada zaman
dahulu, seni gumbeng ini dijadikan hiburan para petani
setelah masa panen. Selain itu
dianggap sebagai satu hal yang sakral untuk menghormati
sekaligus mengantar Dewi Sri ke kahyangan karena dipercaya telah menjaga dan memelihara tanaman
padi petani.
Kegunaan
lain Gumbeng adalah sebagai alat pengusir hama penyakit
tanaman maupun penyakit anak-anak
kecil (tolak bala). Ada upacara
khusus dalam rangka menolak bala dengan kidung jawa. Alat musik
ini biasanya ditampilkan khusus hanya alat
gumbengnya saja namun perkembangan masa kini warga Desa Pagak
mengkombinasikan dengan alat musik lain sebagai pengiring.
Di pelataran
pendopo, lagu pertama yang ditampilkan tentang Tolak
Bala. Arti dari alunan musik tradisional tersebut bukan lain
tentang
mengusir hama dan penyakit
yang ada di dunia ini. Syair mengandung makna permintaan kepada Allah agar
tanaman dan penyakit dijauhkan dari masyarakat.
Pada lagu yang kedua, kami didengarkan lagu khas para petani
yang biasa didengarkan untuk saran hiburan
setelah masa panen.
Ketika
saya perhatikan,
alat musik gumbeng dipukul dengan mengikuti irama kidung yang dinyanyikan.
Dengan ketukan yang sama polanya. Sangat menarik sekali. Mendengar musik Gumbeng
seketika saya berada di masa entah
berantah. Dengan tradisi jawa masa lampau yang masih terjaga. Oh ya alat musik ini dimainkan oleh kebanyakan orang tua (sesepuh) Desa Pagak yang masih
menjaga tradisi leluhur mereka agar tidak punah termakan zaman. Semoga warisan ini
juga tetap lestari.
Indonesia kaya budaya |
0 komentar:
Posting Komentar