Tampilkan postingan dengan label wisata ciwidey. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label wisata ciwidey. Tampilkan semua postingan

November 30, 2022

Trekking ke Sunan Ambu - Sunrise Spot Kawah Putih Ciwidey

Agenda perjalanan ke Sunan Ibu menjadi momen yang saya tunggu-tunggu karena sudah diagendakan sejak Bulan September lalu namun gagal karena saya sempat bedrest. Aktivitas perjalanan kami mulai sehabis subuh, rencananya. Realisasinya kami berangkat dari penginapan jam 5 kurang kala ufuk mulai mejingga. Untungnya jarak dari tempat kami menuju ke titik poin tidak terlalu jauh. Membutuhkan waktu sekitar 15 menit saja.

Kami memasuki gerbang Taman Wisata Alam Ciwidey. Suasana pagi itu masih sepi sekali. Melewati pintu masuk kedua lalu belok kiri. Lah jalannya diportal besi. Waduh. Celingak-celinguk menyorot ke pusat informasi tapi masih tutup kantornya. Untungnya ada bapak paruh baya sedang berjalan ke arah kami. Bertanya perihal jam buka dan tiket masuk. Lalu mohon izin untuk masuk kawasan tersebut. Si bapak yang bekerja di perkebunan Perhutani disana mengangkat portal itu, sehingga ada celah untuk motor kami bisa lewat di bawahnya.

Perjalanan berlanjut dengan kondisi terang pagi. Kanan kirinya vegetasi hutan. Akses jalannya ada banyak titik yang sedang dicor, namun hanya setengah sisi dan hanya puluhan meter saja. Sebagain besar kondisinya kurang mulus. Kemungkinan itu jadi alasan mengapa pengunjung yang datang diharuskan menaiki angkot warga lokal untuk menuju kesana dari area parkiran depan.

Tidak jauh untuk sampai di area kebun teh yang letaknya bersebelahan persis dengan glamping camp area. Kami bertemu dengan pekerjanya. Saya sudah lupa namanya. Jelasnya, kami meninggalkan kartu identitas sebelum naik ke atas. Kartu tersebut akan diambil saat membayar retribusi masuk yang harus dibayar di gerbang depan.

Sekilas tentang Sunan Ambu

Sunan Ambu adalah salah satu bagian dari sekian titik puncak Gunung Patuha. Berada di ketinggian 2.343 mdpl. Terdapat sebuah petilasan di atasnya. Letaknya di sebelah barat Kawah Putih. Jika sedang berada di sekitaran kawah, kita akan melihat puncak perbukitan yang menjulang di sebelah kiri. Disitulah titik Sunan Ibu berada. Ditumbuhi batang cantigi yang terbakar dan jenis tumbuhan pakis-pakisan.

Kami memulai pendakian pukul 5.25 di mana langit sudah dominan terang. Apalagi semalam diguyur hujan lebat yang lama. Sisa-sisa awannya masih tersisa. Sorot matahari membuat rona pagi itu agak kelabu. Kami trekking ke atas dengan jalur yang sudah tertata rapi. Tangga bersemen. Lebar jalur 1,5 meteran. Kontur naiknya relatif aman. Jaraknya sekitar 200 meter saja untuk sampai ke puncak. Pada sisi kanan-kiri tangga, vegetasi pakis hutan banyak sekali disela-sela pohon yang meninggi.
Lima menit berjalan, kami sudah sampai di shelter pertama. Disini semacam deck kayu yang pemandangannya sudah wow sekali. Ah serius kawan. Kalau kalian suka berada di ruang alam terbuka, ini beneran indah banget. Kawah putih agak toska di bawah sana. Punggungan bukit dihiasi pepohonan bekas terbakar juga meranggas. Semak rerumputan hijau coklat padu jadi belukar. Suara burung-burung bersiul nyaring. Gudang oksigen nan sejuk. Matahari terus berpendar, walau memang tidak secantik parasnya kala di musim kemarau. Itu tandanya saya kudu balik lagi kesana saat musim penghujan usai.
Kami lanjut naik ke atas. Tangganya makin menanjak berada di bahu bukit. Disini cantigi dan pakis menyambut kedatangan kami. Seperti pager ayu dan pager bagus. Makin ke atas makin cihuy pemandangannya. Apakah ini hukum keindahan muka bumi. Entahlah. Ini hanya perspektif saya yang terkagum-kagum jika melihat apa yang di bawah dari ketinggian.
Rupanya cuma membutuhkan 15 menit saja untuk sampai di titik puncak. Awalnya saya mengira akan berjalan setidaknya satu atau dua jam. Ternyata tidak perlu waktu lama untuk menyaksikan view yang memukau disana. Bayangkan saja. Di sisi barat atau belakang, perkebunan teh Rancabali dengan pola yang rapi. Di sisi timur, perbukitan berlapis-lapis dan beberapa atap gunung menjulang. Berselimut kabut tipis di bagian bawahnya.
Di puncak Sunan Ibu, ada dataran sekian meter persegi. Terdapat petilasan yang ditandai oleh susunan batu. Ada bakaran dupa dan sajen di atasnya. Ditaruh oleh peziaraha atau juru rawat situs disana. Kami sempat bertemu mereka saat melawat di puncak.

Karakterisik lain adalah tidak adanya tumbuhan rapat di puncaknya. Beberapa pohon tumbuh jarang sehingga bisa melihat sudut 360 derajat. Bendera merah putih berkibar di atas plang bertuliskan Puncak Sunan Ibu 2.343 mdpl. Suasananya membuat betah duduk berlama-lama. Menikmati alam semesta. Angin sepoi-sepoi menggerakkan daun-daunan. Udara terhirup segar. Terasa damai dan menenangkan. Alam memang tempat terbaik untuk mencari ketenangan. Memberi energi yang baik dari penatnya kesibukan sehari-hari.
Saya menyusur ke sisi jalur yang arahnya dari pemukiman warga. Disana dipenuhi semak belukar tumbuh merapat. Sedangkan di sisi jurang, cerukan antara dua bukit nampak seperti sabana. Cerukan itu memisahkan antara Sunan Ibu dan puncak Gunung Patuha. Sementara sisa pohon-pohon bekas terbakar menghiasi konturnya yang miring.
Di atas sana selain kami, ada beberapa rombongan pengunjung yang datang pagi itu. Ada yang naik dari jalur belakang dan mereka bermalam disana (camping). Mereka dari Cianjur. Kata mereka butuh dua jam perjalanan untuk sampai ke atas. Melewati jalur rumah warga dan juga perkebunan teh.
Saking betahnya, kami jadi pengunjung yang paling terakhir turun. Dua jam menikmati pemandangan Sunan Ambu memberi kepuasan yang sangat berkesan. Sebenarnya pengen berlama-lama disana. Amat merasa puas dan penuh syukur. Diberi waktu kesempatan melihat tempat indah yang tercipta.

Saat di bawah, kami ngobrol ngalor ngidul dengan si aa' pekerja Perhutani. Sempat disuguhi kopi olehnya. Pun masih antusias dengan perkebunan teh persis di dekat area parkiran.
Kami berjalan menuju kesana. Ada telaga kecil dan ternyata rombongan yang kami temui tadi sedang masak di area telaga. Saat memasuki lorong-lorong kebun teh. Sajian kontur perkebunan kehijauan yang tertata apik.
Di bawah sana, Situ Patenggang dan bangunan tampak kecil seperti miniatur. Langitnya sedikit membiru. Begitu mentari mulai meninggi karena sudah menyoroti wajah kami. Tak lama, kami beranjak menuju ke Kawah Putih (ceritanya bisa dibaca disini).

Share:

Oktober 27, 2022

Wisata Ranca Upas : Kabut, Rintik Hujan dan Sekawanan Rusa

Selamat Hari Blogger Nasional, kawan-kawan blogger. Semoga tetap konsisten ya berbagi informasi yang bermanfaat dalam karya tulisan. Kali ini saya ingin berbagi kisah perjalanan bulan sepuluh tahun 2022. Tepatnya saat libur tanggal merah memperingati Maulid Nabi dua minggu lalu. Saya kembali mengunjungi wisata yang ada di sekitaran Ciwidey, Bandung. Dua tahun sebelumnya saya pernah menginap di eMTe Highland Resort yang lokasinya berseberangan dengan pintu masuk Kawasan Wisata Alam Kawa Putih. 

Part time jadi pawang

Saya memulai perjalanan dari Cilamaya Karawang. Menaiki angkot biru menuju ke Simpang Jomin. Lanjut berpindah angkot menuju Cikopo. Dari Cikopo, saya naik bus Primajasa jurusan Cikarang - Bandung seharga Rp40.000. Saya turun di terminal Leuwi Panjang. Sayangnya, naik transportasi publik ini membuat perjalanan menjadi lebih santai dan lama sampainya karena bus keluar masuk tol di Purwakarta dan sesekali masuk ke rest area untuk mengangkut/menurunkan penumpang. Pengalaman naik transportasi umum ini saya tuliskan disini. Saya berangkat dari kost sekitar pukul 8.30 pagi. Kondisi Tol Cipularang saat itu cukup padat pula dipenuhi mobil berplat B. Cuaca mendung menyelimuti langit di sepanjang jalan tol. Setibanya di terminal Leuwi Panjang jam 12 siang, saya langsung pesen grab menuju ke Sate Jando Gasibu. 

Udara Bandung siang itu mendung putih kelabu. Hawanya tidak pengap seperti di Karawang. Terasa adem meskipun di luar pas siang bolong. Bisa jadi karena relatif banyaknya pohon di sempadan jalan. Ditambah banyaknya ruang publik yang tersedia. Sampainya di Sate Jando, saya bertemu dengan Fajar yang sudah datang lebih dulu. Ia mengantre disana sedari jam 11 kurang. 

Mula cerita, kami sudah mengagendakan untuk hiking ke Sunan Ibu sedari lama. "akhirnya kejadian juga ya Jar." Sebelum berangkat, kami mengisi perut lebih dahulu. Sedikit informasi, Sate Jando ini pernah viral di sosial media. Hampir selalu ramai pengunjung. Tersedia menu sate jando (lemak sapi), sate sapi dan sate ayam. Saya mencoba sate campurnya. Dengan baluran bumbu kacang yang agak pedas manis, tentu lezat rasanya. Bakul sate ini buka hingga jam 5 sore. Siap-siap untuk antre lama ya, terlebih saat weekend. Antriannya mengular.

Perjalanan pun dimulai. Kami melewati Margaasih, nyebarang tol ke arah Taman Kopo Indah, berhenti sebentar di Masjid Jami Nurul Huda, lanjut ke arah ke Stadion Jalak Harupat, sampai di Soreang dan terus melaju ke Pasir Jambu. Kontur jalanan semakin menanjak kala memasuki area Ciwidey. Beruntungnya cuaca di perjalanan sangat mendukung. Berdasarkan prakiraan cuaca, hujan akan turun sore menjelang malam hari. Awan putih sudah menyelimuti kolong langit di atas kami. Udara semakin terasa dingin mengenai kulit. Satu jam setengah laju perjalanan dengan motor matic Beat Street. Kami tiba di Reddoorz near Kawah Putih Ciwidey sekitar pukul tiga sore. Ulasan mengenai penginapan bisa kalian baca disini.

Singgah sebentar menaruh barang. Istirahat sejenak meregangkan badan. Melihat pemandangan di balkon belakang. Rumah-rumah penduduk diantara lembah perbukitan yang berundak. Cukup menarik untuk difoto. Meski menurut Fajar, pemandangan itu pun udara disana hampir sama seperti di sekitar rumahnya di Cianjur. Membuat malas bergerak karena dingin. Hahaha.

Selepas ibadah sholat ashar lanjut pergi menuju ke penangkaran rusa Ranca Upas. Sore sekitar pukul empat, masih banyak pengunjung yang masuk ke kawasan penangkaran ini. Dengan bus, mobil pribadi juga kendaraan motor. Tak sedikit dari mereka membawa peralatan camping dengan tas gunung. Di gerbang pos, petugas menagih tiket masuk. Dua orang dengan kendaraan motor dipatok sebesar Rp58.000. Tarif ini berbeda apabila kalian hendak berkemah. Selain penangkaran rusa, disana ada juga onsen, igloo camp dan penginapan  ala-ala cabin di bawah rindang pepohonan.

Jalan tapak di penangkaran. Rumput ijo-ijo aja estetik.

Masuk ke area penangkaran, kalian akan menaiki bangunan semi permanen kayu. Di dalamnya, kita bisa membeli wortel untuk memberi makan rusa. Harga satu ikatnya 10 ribu. Ada juga yang dijual seharga 20 ribu. Jadi bangunan ini seperti ruang balkon memanjang sebelum menurun masuk ke penangkaran. Seketika turun dari tangga. kawanan rusa timor akan reflek mendekati kita apabila membawa wortel. Seolah wortel sudah menjadi menu favorit sehari-hari mereka. Sangat lahap sekali. Satu potongan wortel bisa dilahap dalam sekejap saja. 

Rusanya ada yang bertanduk. Kalau diamati seperti ranting kayu. Bercabang meruncing ke bagian atas kanan dan kiri. Bagus bentuk polanya. Ada yang lapuk juga loh ternyata. Bisa jadi sudah berumur atau karena rusa jantan suka adu kekuatan dengan tanduknya. Beberapa ada yang kulitnya terluka. Jadi menurut informasi yang saya baca, rusa bertanduk itu yang jantan, begitu kebalikannya rusa betina tidak memiliki tanduk. Bulu rusa berwarna sama seperti warna bajing/tupai. Lebih dominan kecoklatan.

Saat kami disana, sebagian rusa ada yang duduk bersantai. Seolah mager-mageran memejamkan mata. Ada pula yang mengejar wortel di tangan wisatawan. Lalu ada yang dijadikan obyek foto oleh wisatawan. Dan mereka punya insting. Jika diajak foto tanpa diberi wortel, mereka akan cuek dan tak acuh dengan pengunjung yang mendekatinya. Berbeda dengan wisatawan yang memberi wortel, mereka akan welcome untuk diajak berfoto. Berkunjung Ranca Upas seru sekali. Terlebih jika membawa anak-anak untuk berinteraksi dengan hewan yang cenderung jinak ini. Namun tetap hati-hati ya, mereka juga bisa agresif menanduk pengunjung. Saya melihat ada wisatawan yang dikejar dan ditanduk hingga tergopoh.

Di pematang sekitar penangkaran, padang rumput berparas kehijauan tumbuh sangat alami sekali. Pohon-pohon tumbuh rapat di perbukitan yang nampaknya kabut semakin pekat. Terbawa angin. Bergerak dramatis. Tentu kalian pernah melihat kabut yang menambah suasana semakin terasa syahdu.  Momen sendu yang saya saksikan kala sore itu. Beberapa tenda berwarna-warni terpasang di padang rumput dekat pepohonan nan jauh sana.

Lama kemudian, titik-titik air membasahi tanah Ranca Upas. Hujan lebat membuat rembesan air hujan menguapi aroma bau tanah. Mungkin ditambahi campuran bau kotoran rusa pula. Beruntungnya tereduksi dengan oksigen juga tanaman yang tumbuh subur disana. Udaranya jadi segar nan sejuk. Hawa dingin menjulur ke sekujur kulit. Setengah jam sudah, derasnya titik air yang jatuh mulai merintik. Kami pun menunggu momen hujan di kala senja. Suasana makin damai saat bersama nuansa alam.

Ketika hujan mereda menjelang masuk waktu maghrib. Kami keluar taman penangkaran. Mlipir sebentar ke warung kopi gunung. Kafe estetik diantara pohon-pohon tinggi besar. Kabut sehabis hujan dengan rintik sedu mendayu gelap malam yang akan tiba. Kami minum kopi sebentar untuk menghangatkan badan. Segelas kopi dan sepiring mendhoan. Lantas hujan mendera kembali dengan intensitas yang semakin deras. Menunggu satu jam lamanya namun tak kunjung reda. Akhirnya kami menerobos rintik yang tersisa sedikit. Nyatanya perkiraan kami salah besar. Jalan ke bawah dekat penginapan,  hujan justru masih turun amat deras. Pakaian dan sepatu kami basah kuyup karena hanya memakai jas hujan satu dibagi dua. Saya memakai bagian atasnya. Sedang Fajar memakai bagian celananya. Masih ada untungnya, ada air hangat di penginapan.

Sekian cerita saya berkunjung ke Ranca Upas. Mari menunggu kisah perjalanan berikutnya ke Sunan Ibu. Selamat malam. 


 

Share:

Instagram